Wednesday, October 11, 2017

Aisyah : Biarkan Kami Bersaudara (Antara Pendidikan dengan Perbedaan)



Kali ini saya akan membahas mengenai film yang berlatar belakang sebuah dusun di Nusa Tenggara Timur. Diawali dengan rasa penasaran, akhirnya pencarian saya berujung pada film ini.
Dalam film ini Laudya Cynthia Bella digambarkan sebagai sosok calon guru tanpa pengalaman yang mendapat kesempatan untuk mengajar anak-anak di wilayah dusun terpencil tersebut. Bella adalah seorang gadis Sunda beragama Islam, atau lebih spesifiknya ia adalah gambaran muslim yang taat beribadah. Dengan seorang ibu yang memanjakannya sebagai anak gadis. Bella memerankan tokoh utama yakni Aisyah.
Hari-hari awal Aisyah berada di dusun tersebut jelas amat berat. Film ini menitikberatkan temanya pada perbedaan agama yang kentara sekali antara Aisyah dengan warga dusun. Bahkan hal tersebut sempat menjadi masalah bagi Aisyah, ketika ada seorang siswa yang secara terbuka menyatakan ketidaksukaannya pada Islam ataupun muslim. Tetapi, Aisyah melewati itu semua dengan baik. Bahkan memberi gambaran baru pada anak-anak mengenai indahnya perbedaan.
Ada beberapa adegan yang jelas mengaduk-aduk emosi saya, apalagi pada hal-hal yang berhubungan dengan cara mendidik Aisyah di dalam kelas. Bella cukup berhasil memerankan seorang gadis sarjana pendidikan yang masih awam dengan dunia belajar mengajar yang sesungguhnya. Kecanggungan Aisyah pada awal masuk di dalam kelas adalah salah satu contohnya.
Film ini merupakan suatu langkah persuasif mengenai menariknya terjun dalam dunia pendidikan. Aisyah adalah seorang guru muda yang idealisme nya masih sangat tinggi dalam melakukan proses pembelajaran. Bisa dikatakan bahwa baik Aisyah maupun siswa nya sama-sama belajar di dalam kelas.
Keragaman Indonesia sangat jelas diciptakan dalam film ini, mulai dari cara pandang masalah, suku, adat istiadat, dan agama. Pengemasan tema semacam ini sangat cocok disandingkan dengan tema pendidikan. Sebab perbedaan serta cara mendidik jelas menjadi satu hal yang tidak dapat dipisahkan pengaruhnya. 

Mendidik  menggunakan hati, memahami perbedaan dengan hati, tentunya akan membawa Indonesia dan masyarakatnya naik kelas.

Merupakan jenis film yang harus dinikmati, minimal sepekan sekali demi mengisi ulang semangat menjadi Indonesia.

Sunday, October 8, 2017

Jalan-jalan ke Kediaman Pangeran (Ndalem Suryohamijayan)

Salah satu hal yang sangat saya sukai dari sejarah adalah saya selalu bisa bebas berimajinasi. Imajinasi yang bukan melulu tentang hal-hal aneh, tapi imajinasi yang menurut saya lebih bermanfaat. Seperti membayangkan mengenai lokasi-lokasi bersejarah.

Kembali ingin mengingat pertengahan 2016 yang lalu, saya dan teman-teman pernah  mengunjungi Kota Surakarta untuk mencari tempat bersejarah yang bisa mendukung mata kuliah konservasi kesejarahan kami.

Bercerita sedikit mengenai mata kuliah konservasi yang menghabiskan banyak uang, tenaga, dan pikiran kami. Proses pencarian lokasi membuat kami mengunjungi beberapa kota di sekitaran Jawa Tengah. Sebut saja Kudus, Surakarta, Semarang, Magelang, hingga akhirnya berujung pada Kendal. Mata kuliah paling menarik sepanjang masa perkuliahan saya. Sebab, kami harus mencari hal-hal yang sekiranya layak untuk dikonservasi keberadaannya dan termasuk dalam golongan Cagar Budaya.

Pencarian kami selama beberapa bulan sempat singgah pada “Ndalem Suryohamijayan” atau salah satu rumah pangeran di kawasan Kraton Surakarta. Tidak jauh berbeda dengan Ndalem pangeran yang lainnya. Rumah ini dibangun pada tahun 1919 berdasarkan arsitektur Jawa yang terdiri dari kuncungan, pendopo, pringgitan, ndalem, dan gadok. Bayangan mengenai kemegahan zaman Kraton masih seperti dahulu terasa lekat pada kemisteriusan bangunan ini.

Kalau saya boleh hiperbola, maka bangunan “rumah” ini lebih layak disebut satu kompleks perkampungan sendiri. Bahkan, pada saat itu saya dapat menemukan kebun di dalam rumah (atau ini karena rumah tersebut sudah terbengkalai beberapa lama). Menarik, misterius, sekaligus sangat megah. Kesan yang datang sekaligus terasa pada diri saya saat memasuki Ndalem Suryohamijayan.
Penjaga Ndalem Suryohamijayan pun menjelaskan bahwa di latar depan seringkali digunakan sebagai tempat melaksakan pentas tari, hingga sekarang pun satu set gamelan masih tertata rapi. Beliau juga bercerita mengenai kehidupan Pangeran Suryohamidjojo dan keluarga pada masa lalu. Ketika orang-orang harus laku dhodhok atau jalan jongkok jika ingin menuju dalam rumah.

Ndalem Suryohamijayan juga dilengkapi dengan kandang kuda yang mewah, lapangan tenis, serta  lapangan panahan. Fakta yang lebih membanggakan mengenai Ndalem Suryohamijayan adalah penggunaannya sebagai lokasi penyelenggaraan cabang olahraga tenis pada PON I. Bahkan karena ketertarikannya yang besar dan juga pengaruhnya, Pangeran Suryohamidjojo juga diangkat sebagai Ketua PON I tahun 1948 yang berlokasi di Surakarta.
Sayangnya, Ndalem Suryohamijayan sekarang ini lebih terasa seperti rumah hantu ketimbang rumah pangeran yang sempat digunakan sebagai lokasi PON I.

Kami juga mendapat beberapa cerita misteri di Ndalem Suryohamijayan dari keluarga penjaga rumah.
Beberapa ruangan di Ndalem Suryohamijayan juga masih digunakan untuk tinggal, meskipun lokasinya sangat seadanya.
“keren ya, di dalam rumah ada kebun!” 



Dari Prabu Siliwangi hingga Pak Jokowi (Kebun Raya Bogor)

Mengingat kembali mengenai sejarah kerajaan di kawasan Jawa sebelah barat, tentu tidak akan pernah lepas ingatan kita dari Sejarah Perang Bubat yang nyaris selalu tampil dengan kontroversinya. Ingatan mengenai perang tersebut nampaknya banyak melenakan generasi muda dan membuat sejarah menjadi ingatan kelam. 
Padahal, ada sebuah kerajaan di wilayah Jawa Barat (sekarang) yang memiliki andil besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya botani hingga sekarang.
Sebut saja Kerajaan Sunda Galuh/Pajajaran di wilayah Bogor (sekarang) yang pada saat itu berada pada kepemimpinan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi (1474-1513). Masa pemerintahan Prabu Siliwangi, tertera jelas pada Prasasti Batutulis yang berada di kawasan Batutulis, Bogor sebagai masa pemerintahan yang berperan besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan .

Sebelum menjelaskan lebih lanjut saya akan bertanya…

Adakah dari pembaca yang tidak mengetahui tentang Kebun Raya Bogor?

Meskipun belum pernah berkunjung secara langsung, saya pikir mayoritas orang Indonesia tentu tahu mengenai lokasi tersebut.

Kebun Raya Bogor yang kita kenal sekarang ini, ternyata sudah tercantum keberadaannya pada prasasti Batutulis peninggalan Kerajaan Pakuan Pajajaran pada tahun 1533 Masehi.
Sebagaimana yang akan saya cantumkan mengenai salah satu isi dari prasasti tersebut adalah tentang pembuatan undakan untuk hutan samida atau hutan buatan, yang diperuntukan sebagai keperluan menjaga kelestarian lingkungan serta memelihara benih kayu langka.
Keberadaan Hutan Samida di wilayah Kerajaan Pakuan Pajajaran ternyata tidak terusik meski kekuasaan di daerah tersebut telah berpindah tangan pada Kesultanan Banten. Bahkan, keberadaan hutan buatan tersebut terus dimanaatkan dan dijaga oleh pemerintah Hindia Belanda, tidak terkecuali Gubernur Jenderal Van Der Capellen di pertengahan abad ke 18 dan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (1811-1816) yang sempat berada di Hindia Belanda ini beberapa saat.
Dari situlah keberadaan Kebun Raya Bogor akhirnya diresmikan penggunaannya untuk menunjang penelitian mengenai botani.
Sekarang ini, lokasi Kebun Raya Bogor banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tempat rekreasi keluarga yang murah meriah. Dengan hanya membayar kurang dari 20.000/orang, pengunjung Kebun Raya Bogor disuguhi pemandaan sejuk yang luar biasa merelaksasi pikiran. Tidak hanya untuk rekreasi, Kebun Raya Bogor juga dapat menjadi sarana pembelajaran anak-anak usia sekolah. Terdapat rumah anggrek yang cukup luas, tanaman-tanaman yang diberi papan penunjuk nama, hingga tugu petilasan Bung Karno.


Sesekali, bolehlah berwisata sambil belajar di salah satu ikon wisata kota hujan ini. Tapi tentunya, jika merencanakan wisata pada musim penghujan, selalu sediakan payung agar kegiatan berwisata menjadi lebih nyaman.