BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Salah satu topik yang menarik namun juga cukup
abu-abu di dalam sejarah Indonesia adalah Komunisme. Abu-abu yang saya
maksudkan bukanlah mengenai fakta sejarah yang telah ada, tetapi mengenai
persepsi masyarakat tentang salah satu –isme besar di dunia ini. Sempat
memiliki nama baik karena kecenderungannya membela kaum proletar, namun
ideologi yang satu ini juga dijauhi masyarakat sekitar orde baru (bahkan hingga
sekarang) karena sebuah peristiwa kelam yang sempat terjadi. Pengangkatan tema
mengenai perkembangan ideologi ini di Indonesia tentu sudah bukan hanya satu
atau dua judul. Namun seiring berjalannya waktu, banyaknya judul yang diangkat
mengenai ideologi ini tak lantas menyurutkan minat orang Indonesia yang haus
akan pengetahuan abu-abu.
Komunisme yang identik dengan tindakan-tindakan
radikal kontra kolonial. Komunisme yang juga identik dengan atheisme tentu
menjadi bahan diskusi seru dikalangan masyakat Indonesia yang mencari tahu. Jika
topik macam ini sempat menjadi tabu pasca peristiwa 1965, maka tidak untuk
menjadi topik di tahun 2016 ini. Keingintahuan masyarakat pastinya berbanding
lurus dengan penindakan secara tegas sebuah partai yang membawa nama besar
ideologi ini.
Sukarno dan Komunisme dua kata yang besar
pengaruhnya bagi Indonesia, salah satu daya tarik dari topik tentang ideologi
ini tidak lain adalah mengenai sikap the
founding father kita atas adanya komunisme di Indonesia. Mulai dari
lingkungannya di rumah tokoh bangsa yang berdampingan dengan tokoh-tokoh besar
komunis di Indonesia, paham Nasakom beliau yang juga mencatut nama komunisme di
dalamnya, hingga peran seorang Sukarno di dalam peristiwa 1965 atau yang dalam
makalah ini akan lebih banyak saya sebut Gestok (Gerakan Satu Oktober).
Tentu akan
banyak perbedaan pendapat jika saya langsung menentukan sikap untuk pro atau
kontra dengan keberadaan ideologi ini serta posisi Bung Karno di dalamnya, maka
pada makalah ini saya akan mengajak pembaca untuk meninjau kembali akan sejarah
perkembangan komunisme di Indonesia beserta posisi Bung Karno dengan cara
senetral mungkin melalui sumber-sumber yang saya dapatkan untuk kemudian
pembaca dapat mengambil kesimpulan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
proses perkembangan ideologi komunis di Indonesia sejak zaman Serikat Buruh
hingga Gestok?
2.
Mengapa Sukarno
seringkali dicap sebagai komunis? Dan bagaimana sebenarnya keterkaitan Sukarno
dengan Komunisme Indonesia?
3.
Tindakan
seperti apa yang diambil Sukarno sebagai presiden atas terjadinya Gestok?
C.
Tujuan
1.
Menjelaskan
kepada pembaca berdasarkan kronologi peristiwa mengenai perkembangan ideologi
komunis di Indonesia sejak awal terbentuknya Serikat Buruh hingga Gestok.
2.
Memberikan
keterangan kepada pembaca mengenai pendapat condongnya sikap Sukarno kepada
ideologi komunis, serta membahas keterkaitan Sukarno dengan Komunisme Indonesia
termasuk di dalamnya hubungan dengan tokoh-tokoh komunis.
3.
Memberikan
keterangan kepada pembaca agar pembaca mengetahui mengenai tindakan apa saja
yang diambil presiden pertama kita dalam mengatasi Gestok.
BAB II
Pembahasan
A.
Perkembangan
Ideologi Komunis di Indonesia
Terbentuknya Serikat Buruh
Indonesia yang pada awalnya dikenal
dengan nama Hindia Belanda, sungguh negeri yang mungkin hingga saat ini masih
belum mengenal teknologi jika tidak ditemukan oleh orang-orang Eropa. Ketika di
Indonesia belum ada sepur atau trem (kereta api), maka keadaan negeri ini
sunyi, sepi, tentram, dan damai. Begitu juga penduduknya (rakyatnya) yang
hidup, berpikir, berbudi, serta bekerja dengan sabar dan damai. Hampir semua
rakyat Indonesia mempunyai sebidang tanah yang memberikan penghasilan dan
penghidupan baginya. Sebagian menjadi tukang-tukang kayu, tukang emas, tukang
tenun (membuat kain tenunan, saudagar kecil, dan sebagainya).1 Indonesia
masa itu hadir sebagai negeri yang biasa-biasa saja, rakyatnya merdeka dan
mampu melakukan pekerjaan sesuai dengan keinginan mereka. Kedatangan bangsa
Eropa ke wilayah Indonesia jelas membuat perubahan yang sangat besar di negeri
beriklim tropis ini. Perbedaan kultur budaya antara dua benua secara tidak
langsung juga mempengaruhi jalannya kemajuan teknologi serta kemajuan sistem
perdagangan. Pada awalnya, kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia terlihat
menguntungkan kedua belah pihak. Indonesia dapat melakukan perdagangan
internasional dengan bangsa Eropa, pun sebaliknya bangsa Eropa mendapatkan
bahan dagangan dari tangan pertama yang tentu lebih murah. Namun, keberadaan
bangsa asing di Indonesia yang ketika itu rakyat nya masih bersifat mau
diperintah, lama-kelamaan tidak hanya memberi dampak positif tapi juga dampak
negatif. Bangsa-bangsa yang berniat mencari keuntungan itu kemudian melakukan
kolonialisasi terhadap rakyat Indonesia. Pekerja rodi, sistem sewa tanah, pajak
tanah tentunya tidak menguntungkan bagi keberadaan rakyat Indonesia di negeri
nya sendiri.
Adanya kesenjangan antara
kaum majikan dengan kaum buruh (rakyat pribumi sebagai pekerja) inilah yang
menyebabkan terjadinya perbedaan kelas yang sangat besar di Indonesia pada saat
itu. Ketika pengaruh positif bangsa asing di Indonesia sebagai contoh dibukanya
fasilitas pendidikan digunakan dengan maksimal oleh kaum buruh, maka mulailah
timbul perkumpulan yang dinamakan Vakbond atau Vak
Vereniging atau Serikat Buruh.
Serikat Buruh melakukan
perjuangan yang sebenarnya sangat dasar, yakni memperjuangkah hak-hak secara
sosial serta ekonomi seorang buruh. Sebagai contoh, mereka memberi batasan yang
tegas mengenai usia kerja seorang buruh dan pembayaran upah yang harus
diberikan oleh kaum majikan. Pada awalnya serikat buruh tidak melakukan usaha
untuk menghapuskan sistem kapitalisme yang diterapkan para majikan. Sampai pada
suatu titik dimana serikat buruh merasa harus memiliki suatu partai
politik yang jelas untuk menumbangkan
laju kapitalisme di Indonesia saat itu.
Sneevliet:
dari Rotterdam ke ISDV
Sneevliet adalah seorang tokoh dari Belanda yang
pengaruhnya jelas tidak dapat dipisahkan dari sejarah komunisme di Indonesia.
Kariernya dimulai di serikat buruh Belanda, dia dikenal sebagai seorang
pemimpin yang radikal. Sneevliet masuk ke Indonesia pada tahun 1913 yang
menurut Hilmar Farid tujuan awalnya adalah untuk mencari pekerjaan. Ketika
Sneevliet masuk ke Indonesia ada beberapa tokoh yaitu Musso bersama Alimin,
Semaoen, Darsono, Mas Marco Kartodikromo, dan Haji Misbach menjadi kader
Sneevliet.2 Pada tahun 1914 Sneevliet ikut serta mendirikan Indische
Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) atau Partai Demokratis Sosial Hindia Belanda
yang anggotanya mencakup orang-orang Belanda dan Indonesia.3 Tidak
jauh berbeda dengan perannya di serikat buruh Belanda, Sneevliet dan ISDV
sepenuhnya anti kapitalis. ISDV sangat menentang adanya perlakuan khusus pada
rezim kolonial Belanda dan elit Indonesia. Pasca Revolusi Oktober 1917 di Rusia
sangat berpengaruh terhadap kaum proletar di Indonesia. Peristiwa itu menjadi
pembangkit semangat rakyat di negara-negara jajahan termasuk Indonesia, bahwa
imperialisme Belanda pasti akan bisa digulingkan. Tentu pada saat itu sifat
radikal dari Sneevliet memiliki makin banyak pengikut, berbanding terbalik
dengan tindakan yang diambil pemerintah Belanda. Tahun 1918 ISDV dan Sneevliet
sangat ditekan oleh pemerintah Belanda. Bahkan, Sneevliet dipaksa meninggalkan
Hindia Belanda. Gerakan politik Sneevliet menemukan persamaan dengan salah
seorang tokoh kiri Indonesia yakni Tan Malaka. Mereka berdua sama-sama berada
pada gerakan kiri dalam melawan imperialisme kapitalisme asing, khususnya
Belanda.
ISDV menuju Partai Komunis Indonesia
Sejak Sneevliet
kembali ke negara asalnya dan banyak dari orang Belanda tidak bergabung kembali
dengan ISDV, maka kemudian Musso mengumumkan berdirinya Partai Komunis
Indonesia cabang Batavia. Sedangkan Semaoen mendirikan Perserikatan Komunis
Hindia yang kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1920.4 Di dalam Partai Komunis Indonesia ini
terdapat tokoh-tokoh pembangkit paham komunis di Indonesia, misalnya saja
Semaoen dengan pecahan Sarekat Islam yang kemudian dinamakan Sarekat Islam merah
atau Sarekat Rakyat yang berpusat di Kota Semarang. Bahkan konvensi perdana
partai komunis Indonesia di laksanakan di kota tersebut pada pertengahan
Desember 1920. Agenda utama konvensi itu adalah membahas mengenai keikutsertaan
partai komunis Indonesia dalam komunis internasional (komintern). Setelah
disepakati oleh anggota rapat bahwa PKI bergabung dalam komintern maka
kebijakan PKI haruslah segaris lurus dengan komando dari Moskow.
Tetapi pada masa awal
gerakan PKI, tidak semua komando dari Moskow diikuti mentah-mentah. Seperti
ketika komintern menyerukan perlu adanya kewaspadaan kaum merah dalam
menghadapi Pan Islamisme, Tan Malaka sebagai salah satu tokoh golongan kiri
bahkan sempat menyampaikan pidato nya sebagai bentuk pengungkapan gagasan bahwa
bukan hanya sosialisme-marxisme yang bisa menjadi basis transformasi dan
revolusi sosial, melainkan juga Islam.
“Hingga tahun 1921 kita berkolaborasi dengan mereka.
Partai kita, terdiri dari 13,000 anggota, masuk ke pergerakan popular ini dan
melakukan propaganda di dalamnya. Pada tahun 1921 kita berhasil membuat Sarekat
Islam mengadopsi program kita. Sarekat Islam juga melakukan agitasii pedesaan
mengenai kontrol pabrik-pabrik dan slogan: Semua kekuasaan untuk kaum tani
miskin, Semua kekuasaan untuk kaum proletar! Dengan demikian Sarekat Islam
melakukan propaganda yang sama seperti Partai Komunis kita, hanya saja
terkadang menggunakan nama yang berbeda.” 5
Partai Komunis Indonesia 1926: Pemberontakan Pada
Kolonialisme Belanda
Pada tahun ini
terjadi perbedaan pendapat yang cukup tinggi diantara tokoh komunis Indonesia,
yakni Musso dan Tan Malaka. Musso pada pendapatnya yang terbentuk bersama PKI
sejak desember 1924 bahwa PKI akan mengambil posisi melawan penjajahan Belanda.
Dengan rapat yang digelar di Singapura usaha PKI untuk mematangkan posisi
melawan Belanda dengan cara menggerakan pemogokkan umum dan perlawanan
bersenjata untuk menggulingkan pemerintah Belanda, pada pertengahan 1926
dibuat. Tetapi lain halnya dengan Tan Malaka, posisi nya dalam pemberontakan
ini lebih ditujukan agar PKI mendapat dukungan dana dan senjata dari Uni
Soviet. Tan Malaka yang diharapkan partisipasinya malah tidak setuu dengan
rencana ini, karena sifat Tan yang taktis dan selalu berhati-hati memandang bahwa
kondisi Indonesia pada saat itu belum cukup siap dengan terjadinya
pemberontakan besar semacam ini. Ada beberapa hal yang menyebabkan Tan Malaka
menentang putusan ini. Antara lain: belum ada situasi revolusioner, tingkat
disiplin PKI masih rendah, seluruh rakyat belum berada di bawah PKI, belum ada
tuntutan yang konkret, dan imperialisme internasional sedang bersekutu melawan
komunisme.6 Sebenarnya rencana pemberontakan ini pun sudah ditolak
Stalin, tetapi baik Alimin maupun Musso tetap nekad mengirimkan pesan rahasia
ke Indonesia untuk melakukan perlawanan bersenjata. Meski golongan Tan Malaka
di Indonesia berusaha mencegah pemberontakan itu terjadi, namun pada 12
November 1926 sekitar 300 orang besenjata muncul di jalan-jalan Jakarta dan
Tangerang. Mereka menyerang penjara Glodok, memutus saluran telepon, dan
menyerbu barak polisi. Meski begitu, gerakan yang tidak terorganisir ini tidak
berkahir dengan baik. Pemberontakan hanya terjadi satu malam, karena pada pagi
harinya polisi Hindia Belanda sudah mampu mengendalikan keadaan.
Gagalnya
pemberontakan 1926 menyebabkan ditangkapi nya orang-orang komunis di Indonesia,
ada yang dihukum mati. Bahkan Alimin dan Muso tidak diketahui keberadaannya.
Tan Malaka yang sedari awal tidak setuju dengan pemberontakan itu hanya mampu
menyaksikan tanpa mampu melakukan apa-apa. Akibat dari terpukulnya PKI bukan
hanya terasa di dalam tubuh partai, tetap juga terasa untuk seluruh gerakan
kaum kiri di Indonesia. Komunisme mati suri di Indonesia sebagai akibat dari
ditangkapnya sekitar 13000 orang pasca pemberontakan. 5000 orang ditahan, 4500
dipenjara, dan 1308 dibuang ke Digul. Pada tahun 1927 PKI dinyatakan sebagai
partai terlarang, tokoh-tokoh pentingnya tercerai berai. Ali Archam dibuang ke
Digul. Tan Malaka sudah dipaksa pergi, Haji Misbach meninggal setelah dua tahun
hidup di pembuangan. Alimin menjadi petugas komintern di China, Musso memilih
Rusia, dan Semaoen mendapat tugas di Tajikistan. Usaha-usaha menghidupkan PKI
tentu dilakukan meski belum ada yang berhasil, termasuk juga usaha Tan Malaka
membentuk Partai Republik Indonesia. Orang-orang buangan di Digul sebenarnya
telah diperbolehkan oleh Moskow untuk bekerjasama dengan penjajah demi
mengalahkan fasisme. Tetapi sebelum hal itu dilakukan, Jepang lebih dulu masuk
ke Indonesia menggantikan periode kekuasaan Belanda. Orang-orang kiri yang
berada di Digul kemudian dipindahkan ke Australia oleh pemerintah Belanda, di
Australia mereka bergerak dan bergerilya di bawah tanah membangun komunikasi
dengan Partai Komunis Australia.
Kembali Legal 1946
PKI kembali muncul
sebagai partai yang legal pada tahun 1946 yakni setelah tokoh-tokoh petingginya
kembali ke Indonesia dan mengumpulkan orang-orang komunis lainnya. Kongres PKI
kemudian digelar di Solo, Jawa Tengah pada akhir April 1946. Pada tahun 148
kemudian Musso kembali ke Indonesia dan menciptakan iklim baru pada tubuh PKI.
PKI menjadi partai yang sangat radikal di bawah pengaruh Musso. Sempat terjadi
pemberontakan di Madiun pada 1948 yang kemudian menjadi tamat nya perjalanan
hidup Musso. PKI mulai aktif di pemerintahan pada masa kabinet ali
sastroamidjojo I, PKI memberi dukungan secara penuh pada PNI. Posisi PKI
semakin mantap berkat propaganda DN.Aidit sehingga pada pemilu 1955 PKI
berhasil menempati 4 partai teratas perolehan suara setelah PNI, Masjumi, dan
Nahdlatul Ulama. Meskipun PKI mendapat suara yang cukup besar, namun PKI tidak
berhasil duduk dalam kabinet yang terbentuk setelah pemilu tersebut. Ketidak
ikut sertaan PKI di dalam kabinet pada saat itu disinyalir sebagai akibat
pemberian nama buruk PKI di masa silam.
B.
Bung Karno dan
Komunisme Indonesia
“...Sukarno
adalah seorang individualis. Manusia yang angkuh dengan ego yang
membakar-bakar, yang mengaku bahwa ia mencintai dirinya sendiri, tidak mungkin
menjadi pengikut pihak lain.Sukarno tidak mungkin tunduk pada pihak lain yang
manapun. Dia tidak mungkin menjadi boneka...”7
Sukarno, the founding father, Penyambung Lidah
Rakyat. Hingga saat ini masih banyak kesimpang siuran berita mengenai ideologi
sang Proklamator ini. Apakah sesuai dengan semboyan Nasakom nya? Apakah ia
adalah seorang Nasionalis, Agamis, atau bahkan mungkin Komunis? Perannya
sebagai orang nomor satu di Indonesia pada saat itu jelas membuat Sukarno tidak
lepas dari pembicaraan macam ini. Kecenderungannya membela semua kaum di
Indonesia membuat Sukarno dicap macam-macam. Bahkan hingga cap kolabolator
sempat diterimanya sebagai akibat dari sikap “kooperatif” nya dengan pemerintah
Jepang pada tahun 1942. Padahal jika ditilik lebih dalam, keputusan-keputusan
yang diambil Sukarno tidak lain karena menyangkut hajat hidup seluruh orang
Indonesia.
Kediaman H.O.S. Tjokroaminoto
Sukarno muda pernah belajar
dan bertempat tinggal di Gang Paneleh Surabaya untuk usahanya meneruskan
pendidikan di HBS. Di rumah HOS Tjokro, Sukarno bertemu dengan orang-orang yang
akan memperkenalkan paham Marxis kepada nya. Mereka adalah Alimin dan Musso.
HOS Tjokro yang merupakan orang penting di Sarekat Islam kala itu memiliki
paham yang sebenarnya tidak berbeda jauh dengan Alimin dan Musso, sehingga
kerap kali terjadi diskusi seru diantara mereka. Dari Gang Paneleh Sukarno
belajar mengenai kebencian terhadap sistem kolonialisme Belanda, bukan terhadap
orang Belanda pada umumnya.8 Melalui Alimin, Sukarno belajar bahwa
perjuangan bangsa menjadi tidak kuat karena hanya berjua sendiri-sendiri. Salah
seorang kawan yang juga menjadi guru politik dari Sukarno kala itu adalah
Musso, bahkan pernah ketika tahun 1948 Musso bertemu lagi dengan Sukarno di
Istana Negara Sukarno memeluknya dengan bangga. Pada saat itu Sukarno pun
sempat menyindir Musso mengenai perkembangan komunis internasionalnya, Musso
jelas kaget karena pengetahuan komunis Sukarno. Tetapi Sukarno menjawab “Saya ini kan masih tetap muridnya Marx, Pak
Tjokroaminoto, dan Pak Musso.”9
Suluh Indonesia Muda
Sukarno mulai
menerbitkan tulisan pertamanya yang matang berjudul Nasionalisme, Islam, dan
Marxisme. Disini inti tulisan Sukarno adalah mengenai Nasionalisme. Sementara
itu, dalam tulisan ini pula Sukarno mencoba untuk memberikan pengaruh agar
golongan Nasionalis dan Islam tidak menaruh curiga dan benci terhadap golongan
Marxis. Perlu diketahui, sudut pandang Sukarno mengenai Marxisme yakni
orang-orang yang memiliki paham tersebut adalah pendukung kemerdekaan Indonesia
yang terbesar. Sukarno memandang bahwa Marxisme inilah yang pandangannya paling
tajam jika membicarakan mengenai kemerdekaan. Tetapi Sukarno hanya membatasi
analisis marxisnya pada fenomena imperialisme dan tidak sampai ke masyarakat
Indonesia.10 Anggapannya pada saat itu ialah Islam yang anti barat
dan marxisme dengan partai komunis nya yang pada tahun 1926 mampu melakukan
pemberontakan pada pemerintah kolonial dianggap mampu untuk mewujudkan
nasionalisme. Sukarno tentu memiliki pandangannya sendiri mengenai konsep
pencapaian kemerdekaan.
Sukarno juga amat terkenal dengan marhaenisme
nya. Rakyat Indonesia menurut Sukarno adalah jutaan Marhaen yang bekerja hanya
cukup untuk memenuhi hidupnya. Marhaen tidak akan berubah menjadi pelopor dan
kekuatan revolusi kalau kesadaran mereka tidak dibangkitkan.
Sukarno di antara dua ideologi
Pada saat perang
dingin antara kubu liberalis dan komunis semakin terasa akibatnya ke dunia, hal
ini tentu berpengaruh kepada presiden pertama Indonesia yakni Sukarno.
Negara-negara barat seperti Amerika adalah negara yang sejak muda sudah
dikagumi Sukarno, bahkan Sukarno pernah merasa sangat ingin bersahabat dengan
Amerika. Tetapi kekaguman dan rasa bersahabat ini tidak pernah menganggap Sukarno
sebagai sahabatnya. Negara barat yang saat itu mewakili paham liberal biasanya
akan melakukan sesuatu jika itu menguntungkan mereka, sedangkan selebihnya
mereka hanya akan mengeluarkan berita di surat kabar mereka bahwa Sukarno
termasuk kedalam golongan blok timur yang sarat ideologi komunis. Tetapi mari
kita lihat kenapa blok barat seperti mengambil kesimpulan secepat itu. Sukarno
lebih dihargai di blok timur, surat kabar Rusia tidak pernah menghina Sukarno
seperti yang dilakukan majalah Time. Orang
Cina pun juga tidak pernah melakukan hal yang menyakiti hati Sukarno. Tak
seperti barat yang hanya bersikap manis jika Sukarno melakukan hal baik saja.
Negara-negara blok timur adalah negara yang sangat kooperatif dengan Sukarno
dan Indonesia. Sukarno pun pernah berperan terhadap muslim Rusia, yakni ia
berhasil membuka kembali Masjid Biru di Rusia yang puluhan tahun ditutup oleh
pemerintah komunis pada awalnya digunakan sebagai tempat untuk penyimpanan obat
dan senjata pasca revolusi Bolshevik 1917.11
Sukarno adalah
seorang pemimpin negara yang pada awal kemerdekaan Indonesia melakukan
perjalanan ke banyak negara sekaligus. Tujuan yang ingin dicapai Sukarno adalah
nama baik bagi Indonesia pada saat itu. Tetapi ada pula lawan-lawan politik
dari Sukarno yang tidak senang akan hal itu. Sukarno ingin bahwa dunia tidak
hanya mengenal Indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda yang bodoh dan
melarat. Disini lah titik humanis Sukarno yang sekaligus menggambarkan bahwa ia
tidak ingin negara nya dicela oleh siapapun.
Nasionalis, Agama, dan Komunis
Sekali lagi Sukarno
mengangkat ideologinya lagi. Ia masih mencoba meyakinkan rakyat agar tidak
larut dalam komunisto phobi atau rasa tahut dan menghindari paham serta
orang-orang beraliran komunis. Niat yang ingin dilaksanakan Sukarno adalah
merangkul semua golongan secara adil dalam mencapai kemajuan bangsa dan
bernegara. Hal ini tentu tidak berlebihan bagi seorang pemimpin negara. Tetapi
hal ini pula yang menyebabkan Sukarno kerap kali mendapat cap sebagai seorang
beraliran komunis. Seperti contoh ketika pada pemilu pertama tahun 1955 PKI
sebagai partai beraliran komunis berhasil mengambil hati rakyat yang kemudian
menjadikannya empat partai teratas pilihan rakyat setelah PNI, Masjumi, dan NU.
Pada saat itu PKI tentu memiliki hak atas posisi di kabinet, tetapi koalisi
tiga partai pemenang pemilu nyatanya tidak mengizinkan PKI untuk bergabung di
dalam kabinet.12 Tetapi Sukarno tidak sepaham dengan keputusan
partai koalisi tersebut, Sukarno tetap menghendaki keikutsertaan PKI di dalam
kabinet. Meskipun tidak menghasilkan persetujuan baru, tetapi sikap Sukarno
dinilai cukup mampu membuka peluang berpolitik dari PKI pada saat itu.
Sukarno terus
didekati oleh partai komunis Indonesia ini, sebagai contoh pada tahun 1957 Sukarno
menyampaikan pidato berjudul “Menyelamatkan Republik Proklamasi” yang kemudian
dikenal sebagai “Konsepsi Presiden” . Dalam gagasan itu Presiden Sukarno
mengemukakan konsep politik yang disebut demokrasi terpimpin. Dalam rangka
melaksanakan konsep tersebut, Sukarno mengusulkan pembentukan kabinet gotong
royong dan dewan nasional yang di dalamnya duduk wakil-wakil parpol dan semua
golongan fungsional. Sukarno menghendaki agar orang-orang PKI duduk pula dalam
dewan nasional tersebut walaupun beliau mengetahui bahwa banyak partai politik
yang tidak menyetujui gagasan beliau. Dengan terbentuknya pemerintahan koalisi
nasional akan dapat diwujudkan Front Persatuan Nasional yaitu adanya
organisasi-organisasi yang bersimpati dan mendukung PKI. Hingga muncul saran
dari TNI-AD hingga NU agar Sukarno tidak terlalu dekat dengan PKI tetapi
Presiden Sukarno tidak mengindahkan saran tersebut bahkan sebaliknya
memperingatkan TNI-AD supaya tidak bersikap fobia terhadap PKI dan mencabut
pembatasan-pembatasan yang dilakukan bagi kegiatan PKI tersebut. Peringatan itu
dipertegas oleh Sukarno dalam pidato tanggal 1960 yang berudul “Laksana
Malaikat Yang Menyerbu dari Langit Jalannya Revolusi Kita” yang di dalamnya Sukarno
mengutuk orang orang yang disebut komunisto-fobi. Demikian pula, meskipun
kegiatan unsur-unsur anti komunis yang ada dalam masyarakat Indonesia tidak
tinggal diam, PKI makin lama makin mempunyai peluang untuk mengembangkan
pengaruhnya.
Kecenderungannya membela komunis tidak
lantas membuatnya layak disebut dengan orang komunis. Beliau mempertegas arti
dan fungsi sejarah pancasila kita pada pidato kenegaraan yang berjudul
“Jalannya Revolusi Kita” pada Agustus 1960 , pidato ini berisi sindiran kepada
kedua ideologi yang terlibat perang dingin.
“Pancasila
adalah lebih memenuhi kebutuhan manusia, lebih menyelamatkan manusia daripada
Declaration of Independence nya Amerika atau Manifesto Komunis. Pancasila
adalah suatu ‘pengangkatan ke taraf yang lebih tinggi’, satu ‘hogere
optrekking’ daripada Declaration of Independence dan manifesto Komunis”13
C.
Kebijakan Sukarno Pasca Gestok 1965
Gerakan satu Oktober
yang pada masa orde baru lebih dikenal sebagai G30S/PKI tentu merupakan pukulan
telak bagi pemerintahan Sukarno, bahkan peristiwa ini pula yang pada akhirnya
menjatuhkan Sukarno dari tampuk kepemimpinan Indonesia. Sukarno juga dianggap
sebagai orang komunis akibat kebijakan-kebijakan yang diambilnya untuk
mengatasi peristiwa ini.
Pernyataan 3 oktober
1965. Sikap dan tindakan Sukarno bahkan identik dengan saran D.N. Aidit yang
disampaikan melalui suratnya kepada Sukarno, setelah Aidit melarikan diri dan
bersembunyi di Jateng.
Pernyataan
tsb adalah :
1.
Untuk
menghilangkan keragu-raguan di kalangan rakyat dinyatakan bahwa presiden:
o
Dalam keadaan
sehat walafiat
o
Tetap memegang
tampuk pimpinan negara
o
Tetap memegang
tampuk pimpinan pemeintahan, dan
o
Tetap memegang
tampuk pimpinan revolusi Indonesia
2.
Presiden telah
memanggil semua panglima angkatan bersama waperdam II Dr.J. Leimena dan para
pejabat penting lainnya dengan maksud segera menyelesaikan persoalan G30S.
Untuk itu diperintahkan agar menciptakan suasana tenang dan tertib serta perlu
dihindarkan kemungkinan bentrokan bersenjata
3.
Dalam suasana
revolusi bangsa Indonesia sekarang ini, agar seluruh rakyat mempertinggi
kewaspadaan dan siap siaga menghadapi tugas-tugas Dwikor
4.
Seluruh rakyat
supaya tetap tenang semua Menteri serta petugas negara lainnya supaya tetap
bertugas seperti sedia kala
5.
Pimpinan TNI-AD
berada langsung di tangan Presiden. Untuk menjalankan tugas sehari-hari,
sementara ditunjuk Asisten III Men/Pangad Mayjen TNI Pranoto Reksosamodro
6.
Untuk
melaksanakan pemulihan keamanan dan ketertiban yang bersangkutan dengan
peristiwa G30S ditunjuk Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto. 14
Selain pernyataan
tersebut adapula pidato-pidato Sukarno yang lain, yang menyebabkan rakyat
menarik kesimpulan bahwa Sukarno pro terhadap PKI.15
1.
Pidato Sukarno
kepada KAMI 12 desember 1965
“....saya
tahu bahwa kamu itu adalah onderbouw dari sesuatu partai. Karena partai-partai itu main
gontok-gontokan, maka kamu ikut gontok-gontokan....”
“....seribu dewa dari kayangan tak dapat mematikan
Nas, mematikan A, dan mematikan Kom....”
“....peruncingannya
itu yang harus kita hantam
Gestoknya yang harus kita hantam, tapi Kom nya tak
bisa dihantam”
2.
Pidato presiden
Sukarno 13 Desember 1965
“....tetapi hendaknya para Gubernur tetap
mendasarkan kewajibannya demi pengabdian kepada rakyat, negara, dan revolusi.
Kita semua adalah anak-anak revolusi, anak-anak revolusi harus setia kepada
induknya, sebab kalau tak anak itu sendiri akan dimakan oleh induknya”
3.
Pidato presiden
Sukarno pada peringatan HUT Trikora di Istora Senayan 21 Desember 1965
“..... gestoknya harus kita hantam, tapi komunisnya
tidak bisa, karena ajaran komunis itu adalah hasil keadaan obyektif dalam
masyarakat Indonesia seperti halnya nasionalis dan agama”
“.... Nasakom telah kutulis sejak aku berumur 25
tahun dalam tahun 1926 dan ini akan kupegang teguh sampai aku masuk keliang
kubur”
Tindakan/Kebijaksanaan yang bersifat melindungi PKI
sebagai berikut16:
1.
Presiden Sukarno
yang seharusny sudah dapat bertindak menurut hukum terhadap Men/Pangau Laksdya Udara Omar Dhani malahan mengizinkan
Men/Pangau Laksdya Udara Omar Dhani
menginap di Istana Bogor dan kemudian memberikan tugas ke luar negeri dengan
menggunakan alasan dalam rangka proyek Komando Pelaksana Pembangunan Industri
Penerbangan).
2.
Presiden Sukarno
tidak mengambil tindakan hukum terhadap Brigjen TNI Soepardjo yang nyata-nyata
telah bertindak sebagai pimpinan pelaksanaan G30S
3.
Presiden Sukarno
tidak mengambil tindakan hukum terhadap D.N. Aidit malah memberi tanggapan
positif terhadap surat D.N. Aidit yaitu memberi kesempatan kepada Njoto untuk
menyampaikan sikap PKI dalam masalah G30S pada sidang kabinet paripurna dwikora
pada tanggal 6 Oktober 1965 di Istana Bogor
4.
Pada tanggal 25
Februari 1966 Presiden Sukarno membubarkan KAMI tanpa alasan yang cukup
5.
Pidato
pertanggungjawaban Sukarno dalam sidang umum IV MPRS tahun 1966 yang diberi
judul Nawaksara dinilai oleh MPRS tidak cukup memberi pertanggungjawaban atas
terjadinya G30S dan tidak menyinggung peranan PKI dalam gerakan tersebut.
Jika Sukarno memang
membela PKI hal tersebut masih dalam batas logika yang dapat dicapai, karena
berulang kali sejak 1926 Sukarno telah menyebutkan bahwa ideologi Komunis
termasuk dalam Nasakom miliknya. Sehingga sebagai presiden Republik Indonesia
saat itu Sukarno merasa tidak mampu untuk menarik kembali ucapan-ucapannya di
masa lalu. Hingga sekarang penyebab terjadinya Gestok masih menjadi perdebatan
dalam sejarah Indonesia, tetapi peran Sukarno dalam Gestok kabur bahkan tidak
jelas.17
“saya dan PKI tidak pernah memberikan gelar ini dan
itu pada Bung Karno, tidak pernah memberikan agung ini atau agung itu. Sebab
satu-satunya gelar yang tepat adalah Bung Karno. Sehingga nama Bungkarno
berkembang dari Sukarno (ada kesusahan) menjadi Bung Karno (bongkar kesusahan)”
“Kenapa saya bela dan pertahankan Bung Karno?
Sebabnya ialah sepanjang sejarahnya Bung Karno konsekwen anti imperialis sampai
berani bersemboyan ‘go hell with your aid’ terhadap imperialis amerika
serikat.”
----
uraian tanggung jawab Sudiman 21 Juni 196718
BAB III
Penutup
A.
Kesimpulan
Perkembangan ideologi
komunis di Indonesia mengalami proses yang sangat banyak dan tidak memakan
waktu sebentar. Mulai dari Serikat Buruh hingga Partai Komunis Indonesia
dilarang karena disinyalir sebagai penyebab Gerakan Satu Oktober. Proses ini
memakan waktu lebih dari setengah abad. Pada kenyataan nya paham komunis adalah
paham yang sebenarnya bisa mendukung kemerdekaan dan persatuan bangsa bila
diarahkan dengan baik. Sukarno misalnya, beliau mempercayai eksistensi dari
paham ini tidak hanya sebagai paham yang ahli memberontak. Tetapi beliau juga
setuju akan konsep keadilan yang diinginkan oleh paham ini. Kecenderungan Sukarno
untuk melindungi keberadaan ideologi ini di Indonesia bukan berarti beliau
masuk kedalam golongan penganut ideologi ini. Sukarno menyatakan bahwa dirinya
adalah seorang individualis yang tidak mau tunduk pada ideologi manapun di
dunia. Yang dia inginkan hanyalah bagaimana bisa mencapai kemerdekaan di
Indonesia.
B.
Saran
Penilaian terhadap
ideologi seseorang tidak boleh hanya dengan melihat pada satu sisi saja. Karena
setiap keputusan yang diambil oleh seseorang tentu melewati proses yang
panjang. Dalam proses tersebut juga tidak dapat dihakimi baik buruknya. Kembali
lagi karena pada setiap ideologi memiliki sisi positif dan sisi negatif.
1.
1.
Penuntun Kaum
Buruh: Semaoen (1920)
diakses
pada hari: Selasa, 05 Januari 2016.
2.
Tim Liputan
Khusus Musso, Musso: Si Merah di Simpang
Republik, 8-14 November 2010, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2011
hlm. 26.
3.
Badruddin, Kisah Tan Malaka: Dari Balik Penjara dan
Pengasingan, cetakan pertama, Araska, Yogyakarta, 2014, hlm.26.
4.
Tim Liputan
Khusus Musso, op.cit., hlm. 11.
5.
Komunisme dan
Pan-Islamisme: Tan Malaka (1922)
diakses pada hari: Selasa, 05 Januari 2016.
6.
Badruddin, op.cit., hlm.140.
7.
Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia, cetakan keempat, Media Pressindo, Yogyakarta, 2014, hlm.354.
8.
Ibid.,
hlm. 49.
9.
Tim Liputan
Khusus Musso, op.cit., hlm. 9.
10.
Onghokham, Sukarno Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965,
cetakan kedua, Komunitas Bambu, Jakarta, 2013, hlm. 12.
11.
Putra Poser
Alam, Soekarno dan Soeharto di Mata Para
Kiai, cetakan pertama, IRCiSoD, Yogyakarta, 2015, hlm. 46.
12.
Sekretariat
Negara Republik Indonesia, Gerakan 30
September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan
Penumpasannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 27.
13.
Dr. H. Roeslan
Abdulgani, dalam Iman Toto K. Rahardjo (editor), Bung Karno Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku, Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2001,
hlm. 75.
14.
Sekretariat
Negara Republik Indonesia, op.cit.,
hlm. 22
15.
Ibid.,
hlm. 150.
16.
Ibid.,
hlm. 151.
17.
Asvi Warman Adam, 1965: orang-orang di balik tragedi, Galangpress, Yogyakarta, 2009,
hlm. 21.