Wednesday, October 11, 2017

Aisyah : Biarkan Kami Bersaudara (Antara Pendidikan dengan Perbedaan)



Kali ini saya akan membahas mengenai film yang berlatar belakang sebuah dusun di Nusa Tenggara Timur. Diawali dengan rasa penasaran, akhirnya pencarian saya berujung pada film ini.
Dalam film ini Laudya Cynthia Bella digambarkan sebagai sosok calon guru tanpa pengalaman yang mendapat kesempatan untuk mengajar anak-anak di wilayah dusun terpencil tersebut. Bella adalah seorang gadis Sunda beragama Islam, atau lebih spesifiknya ia adalah gambaran muslim yang taat beribadah. Dengan seorang ibu yang memanjakannya sebagai anak gadis. Bella memerankan tokoh utama yakni Aisyah.
Hari-hari awal Aisyah berada di dusun tersebut jelas amat berat. Film ini menitikberatkan temanya pada perbedaan agama yang kentara sekali antara Aisyah dengan warga dusun. Bahkan hal tersebut sempat menjadi masalah bagi Aisyah, ketika ada seorang siswa yang secara terbuka menyatakan ketidaksukaannya pada Islam ataupun muslim. Tetapi, Aisyah melewati itu semua dengan baik. Bahkan memberi gambaran baru pada anak-anak mengenai indahnya perbedaan.
Ada beberapa adegan yang jelas mengaduk-aduk emosi saya, apalagi pada hal-hal yang berhubungan dengan cara mendidik Aisyah di dalam kelas. Bella cukup berhasil memerankan seorang gadis sarjana pendidikan yang masih awam dengan dunia belajar mengajar yang sesungguhnya. Kecanggungan Aisyah pada awal masuk di dalam kelas adalah salah satu contohnya.
Film ini merupakan suatu langkah persuasif mengenai menariknya terjun dalam dunia pendidikan. Aisyah adalah seorang guru muda yang idealisme nya masih sangat tinggi dalam melakukan proses pembelajaran. Bisa dikatakan bahwa baik Aisyah maupun siswa nya sama-sama belajar di dalam kelas.
Keragaman Indonesia sangat jelas diciptakan dalam film ini, mulai dari cara pandang masalah, suku, adat istiadat, dan agama. Pengemasan tema semacam ini sangat cocok disandingkan dengan tema pendidikan. Sebab perbedaan serta cara mendidik jelas menjadi satu hal yang tidak dapat dipisahkan pengaruhnya. 

Mendidik  menggunakan hati, memahami perbedaan dengan hati, tentunya akan membawa Indonesia dan masyarakatnya naik kelas.

Merupakan jenis film yang harus dinikmati, minimal sepekan sekali demi mengisi ulang semangat menjadi Indonesia.

Sunday, October 8, 2017

Jalan-jalan ke Kediaman Pangeran (Ndalem Suryohamijayan)

Salah satu hal yang sangat saya sukai dari sejarah adalah saya selalu bisa bebas berimajinasi. Imajinasi yang bukan melulu tentang hal-hal aneh, tapi imajinasi yang menurut saya lebih bermanfaat. Seperti membayangkan mengenai lokasi-lokasi bersejarah.

Kembali ingin mengingat pertengahan 2016 yang lalu, saya dan teman-teman pernah  mengunjungi Kota Surakarta untuk mencari tempat bersejarah yang bisa mendukung mata kuliah konservasi kesejarahan kami.

Bercerita sedikit mengenai mata kuliah konservasi yang menghabiskan banyak uang, tenaga, dan pikiran kami. Proses pencarian lokasi membuat kami mengunjungi beberapa kota di sekitaran Jawa Tengah. Sebut saja Kudus, Surakarta, Semarang, Magelang, hingga akhirnya berujung pada Kendal. Mata kuliah paling menarik sepanjang masa perkuliahan saya. Sebab, kami harus mencari hal-hal yang sekiranya layak untuk dikonservasi keberadaannya dan termasuk dalam golongan Cagar Budaya.

Pencarian kami selama beberapa bulan sempat singgah pada “Ndalem Suryohamijayan” atau salah satu rumah pangeran di kawasan Kraton Surakarta. Tidak jauh berbeda dengan Ndalem pangeran yang lainnya. Rumah ini dibangun pada tahun 1919 berdasarkan arsitektur Jawa yang terdiri dari kuncungan, pendopo, pringgitan, ndalem, dan gadok. Bayangan mengenai kemegahan zaman Kraton masih seperti dahulu terasa lekat pada kemisteriusan bangunan ini.

Kalau saya boleh hiperbola, maka bangunan “rumah” ini lebih layak disebut satu kompleks perkampungan sendiri. Bahkan, pada saat itu saya dapat menemukan kebun di dalam rumah (atau ini karena rumah tersebut sudah terbengkalai beberapa lama). Menarik, misterius, sekaligus sangat megah. Kesan yang datang sekaligus terasa pada diri saya saat memasuki Ndalem Suryohamijayan.
Penjaga Ndalem Suryohamijayan pun menjelaskan bahwa di latar depan seringkali digunakan sebagai tempat melaksakan pentas tari, hingga sekarang pun satu set gamelan masih tertata rapi. Beliau juga bercerita mengenai kehidupan Pangeran Suryohamidjojo dan keluarga pada masa lalu. Ketika orang-orang harus laku dhodhok atau jalan jongkok jika ingin menuju dalam rumah.

Ndalem Suryohamijayan juga dilengkapi dengan kandang kuda yang mewah, lapangan tenis, serta  lapangan panahan. Fakta yang lebih membanggakan mengenai Ndalem Suryohamijayan adalah penggunaannya sebagai lokasi penyelenggaraan cabang olahraga tenis pada PON I. Bahkan karena ketertarikannya yang besar dan juga pengaruhnya, Pangeran Suryohamidjojo juga diangkat sebagai Ketua PON I tahun 1948 yang berlokasi di Surakarta.
Sayangnya, Ndalem Suryohamijayan sekarang ini lebih terasa seperti rumah hantu ketimbang rumah pangeran yang sempat digunakan sebagai lokasi PON I.

Kami juga mendapat beberapa cerita misteri di Ndalem Suryohamijayan dari keluarga penjaga rumah.
Beberapa ruangan di Ndalem Suryohamijayan juga masih digunakan untuk tinggal, meskipun lokasinya sangat seadanya.
“keren ya, di dalam rumah ada kebun!” 



Dari Prabu Siliwangi hingga Pak Jokowi (Kebun Raya Bogor)

Mengingat kembali mengenai sejarah kerajaan di kawasan Jawa sebelah barat, tentu tidak akan pernah lepas ingatan kita dari Sejarah Perang Bubat yang nyaris selalu tampil dengan kontroversinya. Ingatan mengenai perang tersebut nampaknya banyak melenakan generasi muda dan membuat sejarah menjadi ingatan kelam. 
Padahal, ada sebuah kerajaan di wilayah Jawa Barat (sekarang) yang memiliki andil besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya botani hingga sekarang.
Sebut saja Kerajaan Sunda Galuh/Pajajaran di wilayah Bogor (sekarang) yang pada saat itu berada pada kepemimpinan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi (1474-1513). Masa pemerintahan Prabu Siliwangi, tertera jelas pada Prasasti Batutulis yang berada di kawasan Batutulis, Bogor sebagai masa pemerintahan yang berperan besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan .

Sebelum menjelaskan lebih lanjut saya akan bertanya…

Adakah dari pembaca yang tidak mengetahui tentang Kebun Raya Bogor?

Meskipun belum pernah berkunjung secara langsung, saya pikir mayoritas orang Indonesia tentu tahu mengenai lokasi tersebut.

Kebun Raya Bogor yang kita kenal sekarang ini, ternyata sudah tercantum keberadaannya pada prasasti Batutulis peninggalan Kerajaan Pakuan Pajajaran pada tahun 1533 Masehi.
Sebagaimana yang akan saya cantumkan mengenai salah satu isi dari prasasti tersebut adalah tentang pembuatan undakan untuk hutan samida atau hutan buatan, yang diperuntukan sebagai keperluan menjaga kelestarian lingkungan serta memelihara benih kayu langka.
Keberadaan Hutan Samida di wilayah Kerajaan Pakuan Pajajaran ternyata tidak terusik meski kekuasaan di daerah tersebut telah berpindah tangan pada Kesultanan Banten. Bahkan, keberadaan hutan buatan tersebut terus dimanaatkan dan dijaga oleh pemerintah Hindia Belanda, tidak terkecuali Gubernur Jenderal Van Der Capellen di pertengahan abad ke 18 dan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (1811-1816) yang sempat berada di Hindia Belanda ini beberapa saat.
Dari situlah keberadaan Kebun Raya Bogor akhirnya diresmikan penggunaannya untuk menunjang penelitian mengenai botani.
Sekarang ini, lokasi Kebun Raya Bogor banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tempat rekreasi keluarga yang murah meriah. Dengan hanya membayar kurang dari 20.000/orang, pengunjung Kebun Raya Bogor disuguhi pemandaan sejuk yang luar biasa merelaksasi pikiran. Tidak hanya untuk rekreasi, Kebun Raya Bogor juga dapat menjadi sarana pembelajaran anak-anak usia sekolah. Terdapat rumah anggrek yang cukup luas, tanaman-tanaman yang diberi papan penunjuk nama, hingga tugu petilasan Bung Karno.


Sesekali, bolehlah berwisata sambil belajar di salah satu ikon wisata kota hujan ini. Tapi tentunya, jika merencanakan wisata pada musim penghujan, selalu sediakan payung agar kegiatan berwisata menjadi lebih nyaman.

Wednesday, October 19, 2016

Jasmerah (Jangan sekali-kali melupakan sejarah)



SEJARAH UNTUK KINI DAN NANTI: ADA APA DENGAN NEGERIKU?
Berpuluh tahun bahkan beratus tahun yang lalu, negeri ini pernah menjadi nusantara yang hebat. Yang terkenal dengan kerajaan-kerajaan besarnya, yang proklamatornya pernah menjadi sorotan dunia. Tetapi apalah arti sebuah ketenaran dengan berbagai macam masalah di dalamnya. Pada sekitar abad ke-13 Ken Angrok muncul sebagai penguasa Kerajaan Singhasari yang terkenal akan cerita-cerita pertumpahan darah, pembunuhan terencana pada penguasa sebelumnya, perebutan tahta serta istri sang raja sebelumnya yaitu Tunggul Ametung. Kisah ini nampak seperti cerita legenda, tetapi nyatanya kisah ini adalah salah satu dari sekian banyak sejarah bangsa kita. Dari sebuah kitab bernama Pararaton menjelaskan bahwa pada akhirnya Ken Angrok mati dibunuh anak Tunggul Ametung dengan menggunakan senjata yang sama pada saat Ken Angrok berusaha merebut tahta. Cerita balas dendam belum selesai sampai disini, anak dari Ken Angrok yang tidak bisa menerima kematian bapaknya kembali mengulang pola pembunuhan yang sama kepada anak Tunggul Ametung. Sungguh sejarah yang megah namun memilukan, kitab-kitab kuno menjadi saksi dan referensi bagi sejarawan untuk mengungkit kisah kelam negerinya.
Kisah lain mengenai sejarah runtuhnya kejayaan kongsi dagang VOC di Batavia pada abad ke-18, akibat dari terlalu menjamurnya suap dan korupsi di dalam kongsi dagang tersebut. Padahal, sudah tidak diragukan lagi kelihaian kongsi dagang bentukan Belanda yang satu ini dalam mengelola hasil monopoli negara nya di Nusantara. Bahkan pernah, demi menyelamatkan orang-orangnya yang di tahan di Banten mereka melakukan “penebusan” kepada kerajaan Banten. Dengan tujuan mereka ke Nusantara yang cukup jelas dan terarah tentunya lumayan aneh melihat mereka nyata nya tumbang karena keserakahan bangsanya sendiri.
Ada lagi sejarah mengenai keambisiusan seorang patih bernama Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit, yang rela membunuh hampir seluruh petinggi Kerajaan Sunda pada abad ke-14 hanya untuk memenuhi Sumpah Palapa. Sumpah Palapa sebenarnya memiliki tujuan baik, yakni untuk mempersatukan Nusantara. Tetapi, apa artinya tujuan baik bila dikerjakan dengan cara yang licik? Pada 1357 Masehi perang Bubat antara Majapahit dan Sunda berlangsung di daerah Bubat. Perang, atau lebih tepat bila dikatakan penyerangan ini dilakukan dengan ide Gajah Mada yang berpura-pura akan menikahkan Diah Pitaloka dengan Hayam Wuruk sang raja Majapahit. Diah Pitaloka digunakan sebagai persembahan atau lebih halusnya perantara agar kerajaan Sunda menjadi tunduk kepada Majapahit. Setelah tahu maksud dan tujuan Gajah Mada, tentu saja Raja Sunda merasa dipermalukan. Ia melakukan perlawanan pada tentara Majapahit. Apalah arti se rombongan “pengiring pengatin” dengan tentara-tentara Majapahit yang memang telah bersiap melakukan peyerangan? Pesta pernikahan itu gagal dengan cara yang menyedihkan. Akibat apa? Sekali lagi, sejarah mencatat bahwa nenek moyang negeri ini pernah menumpahkan darah demi kekuasaan.
Yang terbaru adalah sejarah proklamasi kemerdekaan. Didorong adegan penculikan Ir.Soekarno oleh para golongan muda ke Rengasdengklok, proklamasi ini akhirnya dapat terjadi. Pada peristiwa sejarah kali ini, penggunaan kata penculikkan tak terasa begitu menakutkan. Malah menjadi penentu sikap yang akan diambil bapak proklamator. Golongan muda terus mendesak di proklamasi kan nya negara kesatuan republik Indonesia sebagai negara yang berdaulat, lepas dari Belanda, Inggris, maupun sang “saudara tua” Jepang. Dengan terbitnya kabar kekalahan Jepang pada Perang Dunia II membuat Indonesia harusnya lebih mudah dalam melaksanakan proklamasi kemerdekaan. Golongan Tua sebenarnya lebih setuju dengan gagasan alon-alon asal kelakon, yakni menunggu kemerdekaan pemberian Jepang. Tetapi sekali lagi, bersyukurlah pada sikap generasi muda pada saat itu yang berpikir jauh kedepan, tetapi tetap mempunyai jiwa pejuang muda yang nekad.
Jika setelah paragraf-paragraf di atas mengulas mengenai sejarah negeri nan subur ini timbul pertanyaan, untuk apa sebenarnya belajar sejarah. Maka perlu dipertanyakan kembali kepada pembaca, seberapa mengertikah anda terhadap kasus krisis identitas jaman sekarang. Pernah mendengar tentang masuk perguruan tinggi lewat jalur belakang? Atau bisa juga mendaftar pegawai negeri sipil meggunakan koneksi orang dalam? Nah, sebenarnya apa itu “jalur belakang” dan “koneksi orang dalam”? Mungkin sebagai mahasiswa dan orang-orang yang terbuka pandangannya pada berita nasional, tentu tidak akan asing dengan istilah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Istilah ini mengacu pada tiga kegiatan yang ketiganya memiliki pengertian kurang baik. Korupsi menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) berarti penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara atau perusahaan untuk keuntungan pribadi atau orang lain, kolusi berarti kerja sama rahasia untuk maksud tidak terpuji atau persekongkolan, sedangan nepotisme menurut KBBI berarti kecenderungan untuk mengutamakan dan menguntungkan sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan serta pangkat di lingkungan pemerintah.
Sempat beberapa kali terkejut mendengar kata orang kalau di Indonesia ini memang sudah rusak dari orang-orang berpangkatnya, jadi kalau mau sukses ya harus mau mengikuti cara main yang ditawarkan. Tapi sekali lagi, pertanyaannya Indonesia yang mana? Mau jadi orang berpangkat dengan cara jalur belakang juga sudah tidak diragukan lagi keberadaannya. Disangkal berapa kali pun, oknum-oknum nakal juga tetap ada. Bahkan yang mengejutkan pemikiran mahasiswa pun juga tidak jauh berbeda dengan orang awam pada umumnya.
Ketika potensi keberhasilan mencapai sesuatu menjadi lebih tinggi dengan jalur-jalur tersebut, cenderungnya orang yang memiliki kelebihan materi menggunakan jalan pintas. Keuntungan yang akan berlipat ganda menjadi salah satu faktor pendorong makin terkenalnya jalur ini. Jalur-jalur ini memang tidak sebrutal kisah-kisah dalam sejarah mengenai pertumpahan darah. Tapi, apa bedanya jika kedua hal ini digunakan untuk menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Indonesia abad ke-21 sudah seperti negeri di atas awan, yang hanya mengikuti kemana angin pergi. Ajang saling rebut kekuasaan terlihat makin marak di pemerintahan. Manusia-manusia berbaju necis saling menjelekkan demi citra baik di mata rakyat. Masih ingatkah pada pemilihan presiden tahun 2014 lalu? Bahkan efeknya saja masih terasa hingga pertengahan tahun 2015 ini. Saat itu saya masih ingat betul  pada siaran televisi swasta yang terkenal memiliki citra baik di mata masyarakat sebagai stasiun televisi penyaji berita. Tetapi pada musim penyalonan presiden kesubjektivitasan stasiun televisi itu amat terasa. Bukankah media elektronik seharusnya lebih objektif dalam penyiaran informasi publik?
Ada pula kasus lengkap KKN di Provinsi Banten. Yaitu mengenai Dinasti Atut, jujur saja kasus ini terlalu rumit untuk dijelaskan kembali. Namun saya yakin, sebagian pembaca tentu langsung paham begitu melihat muka ibu Atut. Rumah mewah tersebar dimana-mana, sanak saudara menjadi pejabat pemerintahan dengan mudah. Benar-benar cocok jika penggambaran kasus ini mirip dengan suatu dinasti di kerajaan masa silam.
Pertanyaan besarnya adalah kenapa bangsa yang besar dengan tempaan keras penjajah ini tetap tidak bisa menjadi kuat? Semakin banyak saja daftar hitam dalam kegagalan pemerintahan. Sebenarnya, menyalahkan pemerintah juga bukan solusi yang patut untuk selalu diperbincangkan. Kenapa negeri ini tidak mencoba belajar dengan cara bercermin pada sejarah? Sudah banyak contoh baik dan buruk tercantum pada buku-buku sejarah karangan penulis kondang, tetapi selalu saja yang terlintas dalam mata pelajaran sejarah adalah manusia hasil evolusi dari primata. Mempelajari sejarah hanya dilakukan sebatas untuk meggugurkan kewajiban. Padahal jika serius belajar pola-pola dalam sejarah, negeri ini bisa saja menjadi negeri yang maju. Misalnya saja, belajar dari semangat juang pemuda-pemudi jaman penjajah. Bisa pula belajar untuk tidak jatuh di kesalahan yang sama.
Jika sudah begini, masih relevan kah semangat Jasmerah (Jangan sekali-kali melupakan sejarah) yang pernah digelorakan The Founding Father kita, yaitu Ir.Soekarno?

Wednesday, March 23, 2016

Sukarno dan Komunisme di Indonesia: Sejak Partai Buruh Hingga Peristiwa 1965



BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Salah satu topik yang menarik namun juga cukup abu-abu di dalam sejarah Indonesia adalah Komunisme. Abu-abu yang saya maksudkan bukanlah mengenai fakta sejarah yang telah ada, tetapi mengenai persepsi masyarakat tentang salah satu –isme besar di dunia ini. Sempat memiliki nama baik karena kecenderungannya membela kaum proletar, namun ideologi yang satu ini juga dijauhi masyarakat sekitar orde baru (bahkan hingga sekarang) karena sebuah peristiwa kelam yang sempat terjadi. Pengangkatan tema mengenai perkembangan ideologi ini di Indonesia tentu sudah bukan hanya satu atau dua judul. Namun seiring berjalannya waktu, banyaknya judul yang diangkat mengenai ideologi ini tak lantas menyurutkan minat orang Indonesia yang haus akan pengetahuan abu-abu.
Komunisme yang identik dengan tindakan-tindakan radikal kontra kolonial. Komunisme yang juga identik dengan atheisme tentu menjadi bahan diskusi seru dikalangan masyakat Indonesia yang mencari tahu. Jika topik macam ini sempat menjadi tabu pasca peristiwa 1965, maka tidak untuk menjadi topik di tahun 2016 ini. Keingintahuan masyarakat pastinya berbanding lurus dengan penindakan secara tegas sebuah partai yang membawa nama besar ideologi ini.
Sukarno dan Komunisme dua kata yang besar pengaruhnya bagi Indonesia, salah satu daya tarik dari topik tentang ideologi ini tidak lain adalah mengenai sikap the founding father kita atas adanya komunisme di Indonesia. Mulai dari lingkungannya di rumah tokoh bangsa yang berdampingan dengan tokoh-tokoh besar komunis di Indonesia, paham Nasakom beliau yang juga mencatut nama komunisme di dalamnya, hingga peran seorang Sukarno di dalam peristiwa 1965 atau yang dalam makalah ini akan lebih banyak saya sebut Gestok (Gerakan Satu Oktober).
 Tentu akan banyak perbedaan pendapat jika saya langsung menentukan sikap untuk pro atau kontra dengan keberadaan ideologi ini serta posisi Bung Karno di dalamnya, maka pada makalah ini saya akan mengajak pembaca untuk meninjau kembali akan sejarah perkembangan komunisme di Indonesia beserta posisi Bung Karno dengan cara senetral mungkin melalui sumber-sumber yang saya dapatkan untuk kemudian pembaca dapat mengambil kesimpulan.

B.    Rumusan Masalah
1.     Bagaimana proses perkembangan ideologi komunis di Indonesia sejak zaman Serikat Buruh hingga Gestok?
2.     Mengapa Sukarno seringkali dicap sebagai komunis? Dan bagaimana sebenarnya keterkaitan Sukarno dengan Komunisme Indonesia?
3.     Tindakan seperti apa yang diambil Sukarno sebagai presiden atas terjadinya Gestok?


C.    Tujuan
1.     Menjelaskan kepada pembaca berdasarkan kronologi peristiwa mengenai perkembangan ideologi komunis di Indonesia sejak awal terbentuknya Serikat Buruh hingga Gestok.
2.     Memberikan keterangan kepada pembaca mengenai pendapat condongnya sikap Sukarno kepada ideologi komunis, serta membahas keterkaitan Sukarno dengan Komunisme Indonesia termasuk di dalamnya hubungan dengan tokoh-tokoh komunis.
3.     Memberikan keterangan kepada pembaca agar pembaca mengetahui mengenai tindakan apa saja yang diambil presiden pertama kita dalam mengatasi Gestok.



BAB II
Pembahasan
A.    Perkembangan Ideologi Komunis di Indonesia
Terbentuknya Serikat Buruh
Indonesia yang pada awalnya dikenal dengan nama Hindia Belanda, sungguh negeri yang mungkin hingga saat ini masih belum mengenal teknologi jika tidak ditemukan oleh orang-orang Eropa. Ketika di Indonesia belum ada sepur atau trem (kereta api), maka keadaan negeri ini sunyi, sepi, tentram, dan damai. Begitu juga penduduknya (rakyatnya) yang hidup, berpikir, berbudi, serta bekerja dengan sabar dan damai. Hampir semua rakyat Indonesia mempunyai sebidang tanah yang memberikan peng­hasilan dan penghidupan baginya. Sebagian menjadi tukang-tukang kayu, tukang emas, tukang tenun (membuat kain tenunan, saudagar kecil, dan sebagainya).1 Indonesia masa itu hadir sebagai negeri yang biasa-biasa saja, rakyatnya merdeka dan mampu melakukan pekerjaan sesuai dengan keinginan mereka. Kedatangan bangsa Eropa ke wilayah Indonesia jelas membuat perubahan yang sangat besar di negeri beriklim tropis ini. Perbedaan kultur budaya antara dua benua secara tidak langsung juga mempengaruhi jalannya kemajuan teknologi serta kemajuan sistem perdagangan. Pada awalnya, kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia terlihat menguntungkan kedua belah pihak. Indonesia dapat melakukan perdagangan internasional dengan bangsa Eropa, pun sebaliknya bangsa Eropa mendapatkan bahan dagangan dari tangan pertama yang tentu lebih murah. Namun, keberadaan bangsa asing di Indonesia yang ketika itu rakyat nya masih bersifat mau diperintah, lama-kelamaan tidak hanya memberi dampak positif tapi juga dampak negatif. Bangsa-bangsa yang berniat mencari keuntungan itu kemudian melakukan kolonialisasi terhadap rakyat Indonesia. Pekerja rodi, sistem sewa tanah, pajak tanah tentunya tidak menguntungkan bagi keberadaan rakyat Indonesia di negeri nya sendiri.
Adanya kesenjangan antara kaum majikan dengan kaum buruh (rakyat pribumi sebagai pekerja) inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan kelas yang sangat besar di Indonesia pada saat itu. Ketika pengaruh positif bangsa asing di Indonesia sebagai contoh dibukanya fasilitas pendidikan digunakan dengan maksimal oleh kaum buruh, maka mulailah timbul perkumpulan yang dinamakan Vakbond atau Vak Vereniging atau Serikat Buruh.

Serikat Buruh melakukan perjuangan yang sebenarnya sangat dasar, yakni memperjuangkah hak-hak secara sosial serta ekonomi seorang buruh. Sebagai contoh, mereka memberi batasan yang tegas mengenai usia kerja seorang buruh dan pembayaran upah yang harus diberikan oleh kaum majikan. Pada awalnya serikat buruh tidak melakukan usaha untuk menghapuskan sistem kapitalisme yang diterapkan para majikan. Sampai pada suatu titik dimana serikat buruh merasa harus memiliki suatu partai politik  yang jelas untuk menumbangkan laju kapitalisme di Indonesia saat itu.
                        Sneevliet: dari Rotterdam ke ISDV
                        Sneevliet adalah seorang tokoh dari Belanda yang pengaruhnya jelas tidak dapat dipisahkan dari sejarah komunisme di Indonesia. Kariernya dimulai di serikat buruh Belanda, dia dikenal sebagai seorang pemimpin yang radikal. Sneevliet masuk ke Indonesia pada tahun 1913 yang menurut Hilmar Farid tujuan awalnya adalah untuk mencari pekerjaan. Ketika Sneevliet masuk ke Indonesia ada beberapa tokoh yaitu Musso bersama Alimin, Semaoen, Darsono, Mas Marco Kartodikromo, dan Haji Misbach menjadi kader Sneevliet.2 Pada tahun 1914 Sneevliet ikut serta mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) atau Partai Demokratis Sosial Hindia Belanda yang anggotanya mencakup orang-orang Belanda dan Indonesia.3 Tidak jauh berbeda dengan perannya di serikat buruh Belanda, Sneevliet dan ISDV sepenuhnya anti kapitalis. ISDV sangat menentang adanya perlakuan khusus pada rezim kolonial Belanda dan elit Indonesia. Pasca Revolusi Oktober 1917 di Rusia sangat berpengaruh terhadap kaum proletar di Indonesia. Peristiwa itu menjadi pembangkit semangat rakyat di negara-negara jajahan termasuk Indonesia, bahwa imperialisme Belanda pasti akan bisa digulingkan. Tentu pada saat itu sifat radikal dari Sneevliet memiliki makin banyak pengikut, berbanding terbalik dengan tindakan yang diambil pemerintah Belanda. Tahun 1918 ISDV dan Sneevliet sangat ditekan oleh pemerintah Belanda. Bahkan, Sneevliet dipaksa meninggalkan Hindia Belanda. Gerakan politik Sneevliet menemukan persamaan dengan salah seorang tokoh kiri Indonesia yakni Tan Malaka. Mereka berdua sama-sama berada pada gerakan kiri dalam melawan imperialisme kapitalisme asing, khususnya Belanda.

ISDV menuju Partai Komunis Indonesia
Sejak Sneevliet kembali ke negara asalnya dan banyak dari orang Belanda tidak bergabung kembali dengan ISDV, maka kemudian Musso mengumumkan berdirinya Partai Komunis Indonesia cabang Batavia. Sedangkan Semaoen mendirikan Perserikatan Komunis Hindia yang kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1920.4  Di dalam Partai Komunis Indonesia ini terdapat tokoh-tokoh pembangkit paham komunis di Indonesia, misalnya saja Semaoen dengan pecahan Sarekat Islam yang kemudian dinamakan Sarekat Islam merah atau Sarekat Rakyat yang berpusat di Kota Semarang. Bahkan konvensi perdana partai komunis Indonesia di laksanakan di kota tersebut pada pertengahan Desember 1920. Agenda utama konvensi itu adalah membahas mengenai keikutsertaan partai komunis Indonesia dalam komunis internasional (komintern). Setelah disepakati oleh anggota rapat bahwa PKI bergabung dalam komintern maka kebijakan PKI haruslah segaris lurus dengan komando dari Moskow.
Tetapi pada masa awal gerakan PKI, tidak semua komando dari Moskow diikuti mentah-mentah. Seperti ketika komintern menyerukan perlu adanya kewaspadaan kaum merah dalam menghadapi Pan Islamisme, Tan Malaka sebagai salah satu tokoh golongan kiri bahkan sempat menyampaikan pidato nya sebagai bentuk pengungkapan gagasan bahwa bukan hanya sosialisme-marxisme yang bisa menjadi basis transformasi dan revolusi sosial, melainkan juga Islam.
“Hingga tahun 1921 kita berkolaborasi dengan mereka. Partai kita, terdiri dari 13,000 anggota, masuk ke pergerakan popular ini dan melakukan propaganda di dalamnya. Pada tahun 1921 kita berhasil membuat Sarekat Islam mengadopsi program kita. Sarekat Islam juga melakukan agitasii pedesaan mengenai kontrol pabrik-pabrik dan slogan: Semua kekuasaan untuk kaum tani miskin, Semua kekuasaan untuk kaum proletar! Dengan demikian Sarekat Islam melakukan propaganda yang sama seperti Partai Komunis kita, hanya saja terkadang menggunakan nama yang berbeda.” 5

Partai Komunis Indonesia 1926: Pemberontakan Pada Kolonialisme Belanda
Pada tahun ini terjadi perbedaan pendapat yang cukup tinggi diantara tokoh komunis Indonesia, yakni Musso dan Tan Malaka. Musso pada pendapatnya yang terbentuk bersama PKI sejak desember 1924 bahwa PKI akan mengambil posisi melawan penjajahan Belanda. Dengan rapat yang digelar di Singapura usaha PKI untuk mematangkan posisi melawan Belanda dengan cara menggerakan pemogokkan umum dan perlawanan bersenjata untuk menggulingkan pemerintah Belanda, pada pertengahan 1926 dibuat. Tetapi lain halnya dengan Tan Malaka, posisi nya dalam pemberontakan ini lebih ditujukan agar PKI mendapat dukungan dana dan senjata dari Uni Soviet. Tan Malaka yang diharapkan partisipasinya malah tidak setuu dengan rencana ini, karena sifat Tan yang taktis dan selalu berhati-hati memandang bahwa kondisi Indonesia pada saat itu belum cukup siap dengan terjadinya pemberontakan besar semacam ini. Ada beberapa hal yang menyebabkan Tan Malaka menentang putusan ini. Antara lain: belum ada situasi revolusioner, tingkat disiplin PKI masih rendah, seluruh rakyat belum berada di bawah PKI, belum ada tuntutan yang konkret, dan imperialisme internasional sedang bersekutu melawan komunisme.6 Sebenarnya rencana pemberontakan ini pun sudah ditolak Stalin, tetapi baik Alimin maupun Musso tetap nekad mengirimkan pesan rahasia ke Indonesia untuk melakukan perlawanan bersenjata. Meski golongan Tan Malaka di Indonesia berusaha mencegah pemberontakan itu terjadi, namun pada 12 November 1926 sekitar 300 orang besenjata muncul di jalan-jalan Jakarta dan Tangerang. Mereka menyerang penjara Glodok, memutus saluran telepon, dan menyerbu barak polisi. Meski begitu, gerakan yang tidak terorganisir ini tidak berkahir dengan baik. Pemberontakan hanya terjadi satu malam, karena pada pagi harinya polisi Hindia Belanda sudah mampu mengendalikan keadaan.
Gagalnya pemberontakan 1926 menyebabkan ditangkapi nya orang-orang komunis di Indonesia, ada yang dihukum mati. Bahkan Alimin dan Muso tidak diketahui keberadaannya. Tan Malaka yang sedari awal tidak setuju dengan pemberontakan itu hanya mampu menyaksikan tanpa mampu melakukan apa-apa. Akibat dari terpukulnya PKI bukan hanya terasa di dalam tubuh partai, tetap juga terasa untuk seluruh gerakan kaum kiri di Indonesia. Komunisme mati suri di Indonesia sebagai akibat dari ditangkapnya sekitar 13000 orang pasca pemberontakan. 5000 orang ditahan, 4500 dipenjara, dan 1308 dibuang ke Digul. Pada tahun 1927 PKI dinyatakan sebagai partai terlarang, tokoh-tokoh pentingnya tercerai berai. Ali Archam dibuang ke Digul. Tan Malaka sudah dipaksa pergi, Haji Misbach meninggal setelah dua tahun hidup di pembuangan. Alimin menjadi petugas komintern di China, Musso memilih Rusia, dan Semaoen mendapat tugas di Tajikistan. Usaha-usaha menghidupkan PKI tentu dilakukan meski belum ada yang berhasil, termasuk juga usaha Tan Malaka membentuk Partai Republik Indonesia. Orang-orang buangan di Digul sebenarnya telah diperbolehkan oleh Moskow untuk bekerjasama dengan penjajah demi mengalahkan fasisme. Tetapi sebelum hal itu dilakukan, Jepang lebih dulu masuk ke Indonesia menggantikan periode kekuasaan Belanda. Orang-orang kiri yang berada di Digul kemudian dipindahkan ke Australia oleh pemerintah Belanda, di Australia mereka bergerak dan bergerilya di bawah tanah membangun komunikasi dengan Partai Komunis Australia.
Kembali Legal 1946
PKI kembali muncul sebagai partai yang legal pada tahun 1946 yakni setelah tokoh-tokoh petingginya kembali ke Indonesia dan mengumpulkan orang-orang komunis lainnya. Kongres PKI kemudian digelar di Solo, Jawa Tengah pada akhir April 1946. Pada tahun 148 kemudian Musso kembali ke Indonesia dan menciptakan iklim baru pada tubuh PKI. PKI menjadi partai yang sangat radikal di bawah pengaruh Musso. Sempat terjadi pemberontakan di Madiun pada 1948 yang kemudian menjadi tamat nya perjalanan hidup Musso. PKI mulai aktif di pemerintahan pada masa kabinet ali sastroamidjojo I, PKI memberi dukungan secara penuh pada PNI. Posisi PKI semakin mantap berkat propaganda DN.Aidit sehingga pada pemilu 1955 PKI berhasil menempati 4 partai teratas perolehan suara setelah PNI, Masjumi, dan Nahdlatul Ulama. Meskipun PKI mendapat suara yang cukup besar, namun PKI tidak berhasil duduk dalam kabinet yang terbentuk setelah pemilu tersebut. Ketidak ikut sertaan PKI di dalam kabinet pada saat itu disinyalir sebagai akibat pemberian nama buruk PKI di masa silam.


B.    Bung Karno dan Komunisme Indonesia
“...Sukarno adalah seorang individualis. Manusia yang angkuh dengan ego yang membakar-bakar, yang mengaku bahwa ia mencintai dirinya sendiri, tidak mungkin menjadi pengikut pihak lain.Sukarno tidak mungkin tunduk pada pihak lain yang manapun. Dia tidak mungkin menjadi boneka...”7
Sukarno, the founding father, Penyambung Lidah Rakyat. Hingga saat ini masih banyak kesimpang siuran berita mengenai ideologi sang Proklamator ini. Apakah sesuai dengan semboyan Nasakom nya? Apakah ia adalah seorang Nasionalis, Agamis, atau bahkan mungkin Komunis? Perannya sebagai orang nomor satu di Indonesia pada saat itu jelas membuat Sukarno tidak lepas dari pembicaraan macam ini. Kecenderungannya membela semua kaum di Indonesia membuat Sukarno dicap macam-macam. Bahkan hingga cap kolabolator sempat diterimanya sebagai akibat dari sikap “kooperatif” nya dengan pemerintah Jepang pada tahun 1942. Padahal jika ditilik lebih dalam, keputusan-keputusan yang diambil Sukarno tidak lain karena menyangkut hajat hidup seluruh orang Indonesia.

Kediaman H.O.S. Tjokroaminoto
Sukarno muda pernah belajar dan bertempat tinggal di Gang Paneleh Surabaya untuk usahanya meneruskan pendidikan di HBS. Di rumah HOS Tjokro, Sukarno bertemu dengan orang-orang yang akan memperkenalkan paham Marxis kepada nya. Mereka adalah Alimin dan Musso. HOS Tjokro yang merupakan orang penting di Sarekat Islam kala itu memiliki paham yang sebenarnya tidak berbeda jauh dengan Alimin dan Musso, sehingga kerap kali terjadi diskusi seru diantara mereka. Dari Gang Paneleh Sukarno belajar mengenai kebencian terhadap sistem kolonialisme Belanda, bukan terhadap orang Belanda pada umumnya.8 Melalui Alimin, Sukarno belajar bahwa perjuangan bangsa menjadi tidak kuat karena hanya berjua sendiri-sendiri. Salah seorang kawan yang juga menjadi guru politik dari Sukarno kala itu adalah Musso, bahkan pernah ketika tahun 1948 Musso bertemu lagi dengan Sukarno di Istana Negara Sukarno memeluknya dengan bangga. Pada saat itu Sukarno pun sempat menyindir Musso mengenai perkembangan komunis internasionalnya, Musso jelas kaget karena pengetahuan komunis Sukarno. Tetapi Sukarno menjawab “Saya ini kan masih tetap muridnya Marx, Pak Tjokroaminoto, dan Pak Musso.”9

Suluh Indonesia Muda
Sukarno mulai menerbitkan tulisan pertamanya yang matang berjudul Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Disini inti tulisan Sukarno adalah mengenai Nasionalisme. Sementara itu, dalam tulisan ini pula Sukarno mencoba untuk memberikan pengaruh agar golongan Nasionalis dan Islam tidak menaruh curiga dan benci terhadap golongan Marxis. Perlu diketahui, sudut pandang Sukarno mengenai Marxisme yakni orang-orang yang memiliki paham tersebut adalah pendukung kemerdekaan Indonesia yang terbesar. Sukarno memandang bahwa Marxisme inilah yang pandangannya paling tajam jika membicarakan mengenai kemerdekaan. Tetapi Sukarno hanya membatasi analisis marxisnya pada fenomena imperialisme dan tidak sampai ke masyarakat Indonesia.10 Anggapannya pada saat itu ialah Islam yang anti barat dan marxisme dengan partai komunis nya yang pada tahun 1926 mampu melakukan pemberontakan pada pemerintah kolonial dianggap mampu untuk mewujudkan nasionalisme. Sukarno tentu memiliki pandangannya sendiri mengenai konsep pencapaian kemerdekaan.
 Sukarno juga amat terkenal dengan marhaenisme nya. Rakyat Indonesia menurut Sukarno adalah jutaan Marhaen yang bekerja hanya cukup untuk memenuhi hidupnya. Marhaen tidak akan berubah menjadi pelopor dan kekuatan revolusi kalau kesadaran mereka tidak dibangkitkan.
Sukarno di antara dua ideologi
Pada saat perang dingin antara kubu liberalis dan komunis semakin terasa akibatnya ke dunia, hal ini tentu berpengaruh kepada presiden pertama Indonesia yakni Sukarno. Negara-negara barat seperti Amerika adalah negara yang sejak muda sudah dikagumi Sukarno, bahkan Sukarno pernah merasa sangat ingin bersahabat dengan Amerika. Tetapi kekaguman dan rasa bersahabat ini tidak pernah menganggap Sukarno sebagai sahabatnya. Negara barat yang saat itu mewakili paham liberal biasanya akan melakukan sesuatu jika itu menguntungkan mereka, sedangkan selebihnya mereka hanya akan mengeluarkan berita di surat kabar mereka bahwa Sukarno termasuk kedalam golongan blok timur yang sarat ideologi komunis. Tetapi mari kita lihat kenapa blok barat seperti mengambil kesimpulan secepat itu. Sukarno lebih dihargai di blok timur, surat kabar Rusia tidak pernah menghina Sukarno seperti yang dilakukan majalah Time. Orang Cina pun juga tidak pernah melakukan hal yang menyakiti hati Sukarno. Tak seperti barat yang hanya bersikap manis jika Sukarno melakukan hal baik saja. Negara-negara blok timur adalah negara yang sangat kooperatif dengan Sukarno dan Indonesia. Sukarno pun pernah berperan terhadap muslim Rusia, yakni ia berhasil membuka kembali Masjid Biru di Rusia yang puluhan tahun ditutup oleh pemerintah komunis pada awalnya digunakan sebagai tempat untuk penyimpanan obat dan senjata pasca revolusi Bolshevik 1917.11
Sukarno adalah seorang pemimpin negara yang pada awal kemerdekaan Indonesia melakukan perjalanan ke banyak negara sekaligus. Tujuan yang ingin dicapai Sukarno adalah nama baik bagi Indonesia pada saat itu. Tetapi ada pula lawan-lawan politik dari Sukarno yang tidak senang akan hal itu. Sukarno ingin bahwa dunia tidak hanya mengenal Indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda yang bodoh dan melarat. Disini lah titik humanis Sukarno yang sekaligus menggambarkan bahwa ia tidak ingin negara nya dicela oleh siapapun.
Nasionalis, Agama, dan Komunis
Sekali lagi Sukarno mengangkat ideologinya lagi. Ia masih mencoba meyakinkan rakyat agar tidak larut dalam komunisto phobi atau rasa tahut dan menghindari paham serta orang-orang beraliran komunis. Niat yang ingin dilaksanakan Sukarno adalah merangkul semua golongan secara adil dalam mencapai kemajuan bangsa dan bernegara. Hal ini tentu tidak berlebihan bagi seorang pemimpin negara. Tetapi hal ini pula yang menyebabkan Sukarno kerap kali mendapat cap sebagai seorang beraliran komunis. Seperti contoh ketika pada pemilu pertama tahun 1955 PKI sebagai partai beraliran komunis berhasil mengambil hati rakyat yang kemudian menjadikannya empat partai teratas pilihan rakyat setelah PNI, Masjumi, dan NU. Pada saat itu PKI tentu memiliki hak atas posisi di kabinet, tetapi koalisi tiga partai pemenang pemilu nyatanya tidak mengizinkan PKI untuk bergabung di dalam kabinet.12 Tetapi Sukarno tidak sepaham dengan keputusan partai koalisi tersebut, Sukarno tetap menghendaki keikutsertaan PKI di dalam kabinet. Meskipun tidak menghasilkan persetujuan baru, tetapi sikap Sukarno dinilai cukup mampu membuka peluang berpolitik dari PKI pada saat itu.
Sukarno terus didekati oleh partai komunis Indonesia ini, sebagai contoh pada tahun 1957 Sukarno menyampaikan pidato berjudul “Menyelamatkan Republik Proklamasi” yang kemudian dikenal sebagai “Konsepsi Presiden” . Dalam gagasan itu Presiden Sukarno mengemukakan konsep politik yang disebut demokrasi terpimpin. Dalam rangka melaksanakan konsep tersebut, Sukarno mengusulkan pembentukan kabinet gotong royong dan dewan nasional yang di dalamnya duduk wakil-wakil parpol dan semua golongan fungsional. Sukarno menghendaki agar orang-orang PKI duduk pula dalam dewan nasional tersebut walaupun beliau mengetahui bahwa banyak partai politik yang tidak menyetujui gagasan beliau. Dengan terbentuknya pemerintahan koalisi nasional akan dapat diwujudkan Front Persatuan Nasional yaitu adanya organisasi-organisasi yang bersimpati dan mendukung PKI. Hingga muncul saran dari TNI-AD hingga NU agar Sukarno tidak terlalu dekat dengan PKI tetapi Presiden Sukarno tidak mengindahkan saran tersebut bahkan sebaliknya memperingatkan TNI-AD supaya tidak bersikap fobia terhadap PKI dan mencabut pembatasan-pembatasan yang dilakukan bagi kegiatan PKI tersebut. Peringatan itu dipertegas oleh Sukarno dalam pidato tanggal 1960 yang berudul “Laksana Malaikat Yang Menyerbu dari Langit Jalannya Revolusi Kita” yang di dalamnya Sukarno mengutuk orang orang yang disebut komunisto-fobi. Demikian pula, meskipun kegiatan unsur-unsur anti komunis yang ada dalam masyarakat Indonesia tidak tinggal diam, PKI makin lama makin mempunyai peluang untuk mengembangkan pengaruhnya.
Kecenderungannya membela komunis tidak lantas membuatnya layak disebut dengan orang komunis. Beliau mempertegas arti dan fungsi sejarah pancasila kita pada pidato kenegaraan yang berjudul “Jalannya Revolusi Kita” pada Agustus 1960 , pidato ini berisi sindiran kepada kedua ideologi yang terlibat perang dingin.
“Pancasila adalah lebih memenuhi kebutuhan manusia, lebih menyelamatkan manusia daripada Declaration of Independence nya Amerika atau Manifesto Komunis. Pancasila adalah suatu ‘pengangkatan ke taraf yang lebih tinggi’, satu ‘hogere optrekking’ daripada Declaration of Independence dan manifesto Komunis”13

C.     Kebijakan Sukarno Pasca Gestok 1965
Gerakan satu Oktober yang pada masa orde baru lebih dikenal sebagai G30S/PKI tentu merupakan pukulan telak bagi pemerintahan Sukarno, bahkan peristiwa ini pula yang pada akhirnya menjatuhkan Sukarno dari tampuk kepemimpinan Indonesia. Sukarno juga dianggap sebagai orang komunis akibat kebijakan-kebijakan yang diambilnya untuk mengatasi peristiwa ini.
Pernyataan 3 oktober 1965. Sikap dan tindakan Sukarno bahkan identik dengan saran D.N. Aidit yang disampaikan melalui suratnya kepada Sukarno, setelah Aidit melarikan diri dan bersembunyi di Jateng.
Pernyataan tsb adalah :
1.     Untuk menghilangkan keragu-raguan di kalangan rakyat dinyatakan bahwa presiden:
o   Dalam keadaan sehat walafiat
o   Tetap memegang tampuk pimpinan negara
o   Tetap memegang tampuk pimpinan pemeintahan, dan
o   Tetap memegang tampuk pimpinan revolusi Indonesia
2.     Presiden telah memanggil semua panglima angkatan bersama waperdam II Dr.J. Leimena dan para pejabat penting lainnya dengan maksud segera menyelesaikan persoalan G30S. Untuk itu diperintahkan agar menciptakan suasana tenang dan tertib serta perlu dihindarkan kemungkinan bentrokan bersenjata
3.     Dalam suasana revolusi bangsa Indonesia sekarang ini, agar seluruh rakyat mempertinggi kewaspadaan dan siap siaga menghadapi tugas-tugas Dwikor
4.     Seluruh rakyat supaya tetap tenang semua Menteri serta petugas negara lainnya supaya tetap bertugas seperti sedia kala
5.     Pimpinan TNI-AD berada langsung di tangan Presiden. Untuk menjalankan tugas sehari-hari, sementara ditunjuk Asisten III Men/Pangad Mayjen TNI Pranoto Reksosamodro
6.     Untuk melaksanakan pemulihan keamanan dan ketertiban yang bersangkutan dengan peristiwa G30S ditunjuk Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto. 14
Selain pernyataan tersebut adapula pidato-pidato Sukarno yang lain, yang menyebabkan rakyat menarik kesimpulan bahwa Sukarno pro terhadap PKI.15
1.   Pidato Sukarno kepada KAMI 12 desember 1965
“....saya tahu bahwa kamu itu adalah onderbouw dari sesuatu partai.  Karena partai-partai itu main gontok-gontokan, maka kamu ikut gontok-gontokan....”
“....seribu dewa dari kayangan tak dapat mematikan Nas, mematikan  A, dan mematikan Kom....”
“....peruncingannya itu yang harus kita hantam
Gestoknya yang harus kita hantam, tapi Kom nya tak bisa dihantam”

2.     Pidato presiden Sukarno 13 Desember 1965
“....tetapi hendaknya para Gubernur tetap mendasarkan kewajibannya demi pengabdian kepada rakyat, negara, dan revolusi. Kita semua adalah anak-anak revolusi, anak-anak revolusi harus setia kepada induknya, sebab kalau tak anak itu sendiri akan dimakan oleh induknya”

3.     Pidato presiden Sukarno pada peringatan HUT Trikora di Istora Senayan 21 Desember 1965
“..... gestoknya harus kita hantam, tapi komunisnya tidak bisa, karena ajaran komunis itu adalah hasil keadaan obyektif dalam masyarakat Indonesia seperti halnya nasionalis dan agama”
“.... Nasakom telah kutulis sejak aku berumur 25 tahun dalam tahun 1926 dan ini akan kupegang teguh sampai aku masuk keliang kubur”
Tindakan/Kebijaksanaan yang bersifat melindungi PKI sebagai berikut16:
1.     Presiden Sukarno yang seharusny sudah dapat bertindak menurut hukum terhadap Men/Pangau  Laksdya Udara Omar Dhani malahan mengizinkan Men/Pangau  Laksdya Udara Omar Dhani menginap di Istana Bogor dan kemudian memberikan tugas ke luar negeri dengan menggunakan alasan dalam rangka proyek Komando Pelaksana Pembangunan Industri Penerbangan).
2.     Presiden Sukarno tidak mengambil tindakan hukum terhadap Brigjen TNI Soepardjo yang nyata-nyata telah bertindak sebagai pimpinan pelaksanaan G30S
3.     Presiden Sukarno tidak mengambil tindakan hukum terhadap D.N. Aidit malah memberi tanggapan positif terhadap surat D.N. Aidit yaitu memberi kesempatan kepada Njoto untuk menyampaikan sikap PKI dalam masalah G30S pada sidang kabinet paripurna dwikora pada tanggal 6 Oktober 1965 di Istana Bogor
4.     Pada tanggal 25 Februari 1966 Presiden Sukarno membubarkan KAMI tanpa alasan yang cukup
5.     Pidato pertanggungjawaban Sukarno dalam sidang umum IV MPRS tahun 1966 yang diberi judul Nawaksara dinilai oleh MPRS tidak cukup memberi pertanggungjawaban atas terjadinya G30S dan tidak menyinggung peranan PKI dalam gerakan tersebut.
Jika Sukarno memang membela PKI hal tersebut masih dalam batas logika yang dapat dicapai, karena berulang kali sejak 1926 Sukarno telah menyebutkan bahwa ideologi Komunis termasuk dalam Nasakom miliknya. Sehingga sebagai presiden Republik Indonesia saat itu Sukarno merasa tidak mampu untuk menarik kembali ucapan-ucapannya di masa lalu. Hingga sekarang penyebab terjadinya Gestok masih menjadi perdebatan dalam sejarah Indonesia, tetapi peran Sukarno dalam Gestok kabur bahkan tidak jelas.17
“saya dan PKI tidak pernah memberikan gelar ini dan itu pada Bung Karno, tidak pernah memberikan agung ini atau agung itu. Sebab satu-satunya gelar yang tepat adalah Bung Karno. Sehingga nama Bungkarno berkembang dari Sukarno (ada kesusahan) menjadi Bung Karno (bongkar kesusahan)”
“Kenapa saya bela dan pertahankan Bung Karno? Sebabnya ialah sepanjang sejarahnya Bung Karno konsekwen anti imperialis sampai berani bersemboyan ‘go hell with your aid’ terhadap imperialis amerika serikat.”
---- uraian tanggung jawab Sudiman 21 Juni 196718

BAB III
Penutup
A.    Kesimpulan
Perkembangan ideologi komunis di Indonesia mengalami proses yang sangat banyak dan tidak memakan waktu sebentar. Mulai dari Serikat Buruh hingga Partai Komunis Indonesia dilarang karena disinyalir sebagai penyebab Gerakan Satu Oktober. Proses ini memakan waktu lebih dari setengah abad. Pada kenyataan nya paham komunis adalah paham yang sebenarnya bisa mendukung kemerdekaan dan persatuan bangsa bila diarahkan dengan baik. Sukarno misalnya, beliau mempercayai eksistensi dari paham ini tidak hanya sebagai paham yang ahli memberontak. Tetapi beliau juga setuju akan konsep keadilan yang diinginkan oleh paham ini. Kecenderungan Sukarno untuk melindungi keberadaan ideologi ini di Indonesia bukan berarti beliau masuk kedalam golongan penganut ideologi ini. Sukarno menyatakan bahwa dirinya adalah seorang individualis yang tidak mau tunduk pada ideologi manapun di dunia. Yang dia inginkan hanyalah bagaimana bisa mencapai kemerdekaan di Indonesia.
B.    Saran
Penilaian terhadap ideologi seseorang tidak boleh hanya dengan melihat pada satu sisi saja. Karena setiap keputusan yang diambil oleh seseorang tentu melewati proses yang panjang. Dalam proses tersebut juga tidak dapat dihakimi baik buruknya. Kembali lagi karena pada setiap ideologi memiliki sisi positif dan sisi negatif.






















1.  
1.     Penuntun Kaum Buruh: Semaoen (1920)
diakses pada hari: Selasa, 05 Januari 2016.
2.     Tim Liputan Khusus Musso, Musso: Si Merah di Simpang Republik, 8-14 November 2010, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2011 hlm. 26.
3.     Badruddin, Kisah Tan Malaka: Dari Balik Penjara dan Pengasingan, cetakan pertama, Araska, Yogyakarta, 2014, hlm.26.
4.     Tim Liputan Khusus Musso, op.cit., hlm. 11.
5.     Komunisme dan Pan-Islamisme: Tan Malaka (1922)
diakses pada hari: Selasa, 05 Januari 2016.
6.     Badruddin, op.cit., hlm.140.
7.     Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, cetakan keempat, Media Pressindo, Yogyakarta, 2014, hlm.354.
8.     Ibid., hlm. 49.
9.     Tim Liputan Khusus Musso, op.cit., hlm. 9.
10.  Onghokham, Sukarno Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965, cetakan kedua, Komunitas Bambu, Jakarta, 2013, hlm. 12.
11.  Putra Poser Alam, Soekarno dan Soeharto di Mata Para Kiai, cetakan pertama, IRCiSoD, Yogyakarta, 2015, hlm. 46.
12.  Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 27.
13.  Dr. H. Roeslan Abdulgani, dalam Iman Toto K. Rahardjo (editor), Bung Karno Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku, Gramedia Widiasarana Indonesia,  Jakarta, 2001, hlm. 75.
14.  Sekretariat Negara Republik Indonesia, op.cit., hlm. 22
15.  Ibid., hlm. 150.
16.  Ibid., hlm. 151.
17.   Asvi Warman Adam, 1965: orang-orang di balik tragedi, Galangpress, Yogyakarta, 2009, hlm. 21.