SEJARAH UNTUK KINI DAN NANTI: ADA
APA DENGAN NEGERIKU?
Berpuluh
tahun bahkan beratus tahun yang lalu, negeri ini pernah menjadi nusantara yang
hebat. Yang terkenal dengan kerajaan-kerajaan besarnya, yang proklamatornya
pernah menjadi sorotan dunia. Tetapi apalah arti sebuah ketenaran dengan
berbagai macam masalah di dalamnya. Pada sekitar abad ke-13 Ken Angrok muncul
sebagai penguasa Kerajaan Singhasari yang terkenal akan cerita-cerita
pertumpahan darah, pembunuhan terencana pada penguasa sebelumnya, perebutan
tahta serta istri sang raja sebelumnya yaitu Tunggul Ametung. Kisah ini nampak
seperti cerita legenda, tetapi nyatanya kisah ini adalah salah satu dari sekian
banyak sejarah bangsa kita. Dari sebuah kitab bernama Pararaton menjelaskan
bahwa pada akhirnya Ken Angrok mati dibunuh anak Tunggul Ametung dengan
menggunakan senjata yang sama pada saat Ken Angrok berusaha merebut tahta.
Cerita balas dendam belum selesai sampai disini, anak dari Ken Angrok yang
tidak bisa menerima kematian bapaknya kembali mengulang pola pembunuhan yang
sama kepada anak Tunggul Ametung. Sungguh sejarah yang megah namun memilukan,
kitab-kitab kuno menjadi saksi dan referensi bagi sejarawan untuk mengungkit
kisah kelam negerinya.
Kisah
lain mengenai sejarah runtuhnya kejayaan kongsi dagang VOC di Batavia pada abad
ke-18, akibat dari terlalu menjamurnya suap dan korupsi di dalam kongsi dagang
tersebut. Padahal, sudah tidak diragukan lagi kelihaian kongsi dagang bentukan
Belanda yang satu ini dalam mengelola hasil monopoli negara nya di Nusantara.
Bahkan pernah, demi menyelamatkan orang-orangnya yang di tahan di Banten mereka
melakukan “penebusan” kepada kerajaan Banten. Dengan tujuan mereka ke Nusantara
yang cukup jelas dan terarah tentunya lumayan aneh melihat mereka nyata nya
tumbang karena keserakahan bangsanya sendiri.
Ada
lagi sejarah mengenai keambisiusan seorang patih bernama Gajah Mada dari Kerajaan
Majapahit, yang rela membunuh hampir seluruh petinggi Kerajaan Sunda pada abad
ke-14 hanya untuk memenuhi Sumpah Palapa. Sumpah Palapa sebenarnya memiliki
tujuan baik, yakni untuk mempersatukan Nusantara. Tetapi, apa artinya tujuan
baik bila dikerjakan dengan cara yang licik? Pada 1357 Masehi perang Bubat
antara Majapahit dan Sunda berlangsung di daerah Bubat. Perang, atau lebih
tepat bila dikatakan penyerangan ini dilakukan dengan ide Gajah Mada yang
berpura-pura akan menikahkan Diah Pitaloka dengan Hayam Wuruk sang raja
Majapahit. Diah Pitaloka digunakan sebagai persembahan atau lebih halusnya
perantara agar kerajaan Sunda menjadi tunduk kepada Majapahit. Setelah tahu
maksud dan tujuan Gajah Mada, tentu saja Raja Sunda merasa dipermalukan. Ia
melakukan perlawanan pada tentara Majapahit. Apalah arti se rombongan
“pengiring pengatin” dengan tentara-tentara Majapahit yang memang telah bersiap
melakukan peyerangan? Pesta pernikahan itu gagal dengan cara yang menyedihkan.
Akibat apa? Sekali lagi, sejarah mencatat bahwa nenek moyang negeri ini pernah
menumpahkan darah demi kekuasaan.
Yang
terbaru adalah sejarah proklamasi kemerdekaan. Didorong adegan penculikan
Ir.Soekarno oleh para golongan muda ke Rengasdengklok, proklamasi ini akhirnya
dapat terjadi. Pada peristiwa sejarah kali ini, penggunaan kata penculikkan tak
terasa begitu menakutkan. Malah menjadi penentu sikap yang akan diambil bapak
proklamator. Golongan muda terus mendesak di proklamasi kan nya negara kesatuan
republik Indonesia sebagai negara yang berdaulat, lepas dari Belanda, Inggris,
maupun sang “saudara tua” Jepang. Dengan terbitnya kabar kekalahan Jepang pada
Perang Dunia II membuat Indonesia harusnya lebih mudah dalam melaksanakan
proklamasi kemerdekaan. Golongan Tua sebenarnya lebih setuju dengan gagasan
alon-alon asal kelakon, yakni menunggu kemerdekaan pemberian Jepang. Tetapi
sekali lagi, bersyukurlah pada sikap generasi muda pada saat itu yang berpikir
jauh kedepan, tetapi tetap mempunyai jiwa pejuang muda yang nekad.
Jika
setelah paragraf-paragraf di atas mengulas mengenai sejarah negeri nan subur
ini timbul pertanyaan, untuk apa sebenarnya belajar sejarah. Maka perlu
dipertanyakan kembali kepada pembaca, seberapa mengertikah anda terhadap kasus
krisis identitas jaman sekarang. Pernah mendengar tentang masuk perguruan
tinggi lewat jalur belakang? Atau bisa juga mendaftar pegawai negeri sipil
meggunakan koneksi orang dalam? Nah, sebenarnya apa itu “jalur belakang” dan
“koneksi orang dalam”? Mungkin sebagai mahasiswa dan orang-orang yang terbuka
pandangannya pada berita nasional, tentu tidak akan asing dengan istilah korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN). Istilah ini mengacu pada tiga kegiatan yang
ketiganya memiliki pengertian kurang baik. Korupsi menurut kamus besar bahasa
Indonesia (KBBI) berarti penyelewengan
atau penyalahgunaan uang negara atau perusahaan untuk keuntungan pribadi atau
orang lain, kolusi berarti kerja sama rahasia untuk maksud tidak terpuji atau
persekongkolan, sedangan nepotisme menurut KBBI berarti kecenderungan untuk
mengutamakan dan menguntungkan sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan
serta pangkat di lingkungan pemerintah.
Sempat
beberapa kali terkejut mendengar kata orang kalau di Indonesia ini memang sudah
rusak dari orang-orang berpangkatnya, jadi kalau mau sukses ya harus mau
mengikuti cara main yang ditawarkan. Tapi sekali lagi, pertanyaannya Indonesia
yang mana? Mau jadi orang berpangkat dengan cara jalur belakang juga sudah
tidak diragukan lagi keberadaannya. Disangkal berapa kali pun, oknum-oknum
nakal juga tetap ada. Bahkan yang mengejutkan pemikiran mahasiswa pun juga
tidak jauh berbeda dengan orang awam pada umumnya.
Ketika potensi keberhasilan mencapai sesuatu
menjadi lebih tinggi dengan jalur-jalur tersebut, cenderungnya orang yang
memiliki kelebihan materi menggunakan jalan pintas. Keuntungan yang akan
berlipat ganda menjadi salah satu faktor pendorong makin terkenalnya jalur ini.
Jalur-jalur ini memang tidak sebrutal kisah-kisah dalam sejarah mengenai pertumpahan
darah. Tapi, apa bedanya jika kedua hal ini digunakan untuk menghalalkan segala
cara dalam mencapai tujuan. Indonesia abad ke-21 sudah seperti negeri di atas
awan, yang hanya mengikuti kemana angin pergi. Ajang saling rebut kekuasaan
terlihat makin marak di pemerintahan. Manusia-manusia berbaju necis saling
menjelekkan demi citra baik di mata rakyat. Masih ingatkah pada pemilihan
presiden tahun 2014 lalu? Bahkan efeknya saja masih terasa hingga pertengahan
tahun 2015 ini. Saat itu saya masih ingat betul
pada siaran televisi swasta yang terkenal memiliki citra baik di mata
masyarakat sebagai stasiun televisi penyaji berita. Tetapi pada musim penyalonan
presiden kesubjektivitasan stasiun televisi itu amat terasa. Bukankah media
elektronik seharusnya lebih objektif dalam penyiaran informasi publik?
Ada pula kasus lengkap KKN di Provinsi Banten.
Yaitu mengenai Dinasti Atut, jujur saja kasus ini terlalu rumit untuk
dijelaskan kembali. Namun saya yakin, sebagian pembaca tentu langsung paham
begitu melihat muka ibu Atut. Rumah mewah tersebar dimana-mana, sanak saudara
menjadi pejabat pemerintahan dengan mudah. Benar-benar cocok jika penggambaran
kasus ini mirip dengan suatu dinasti di kerajaan masa silam.
Pertanyaan besarnya adalah kenapa bangsa yang
besar dengan tempaan keras penjajah ini tetap tidak bisa menjadi kuat? Semakin
banyak saja daftar hitam dalam kegagalan pemerintahan. Sebenarnya, menyalahkan
pemerintah juga bukan solusi yang patut untuk selalu diperbincangkan. Kenapa
negeri ini tidak mencoba belajar dengan cara bercermin pada sejarah? Sudah
banyak contoh baik dan buruk tercantum pada buku-buku sejarah karangan penulis
kondang, tetapi selalu saja yang terlintas dalam mata pelajaran sejarah adalah
manusia hasil evolusi dari primata. Mempelajari sejarah hanya dilakukan sebatas
untuk meggugurkan kewajiban. Padahal jika serius belajar pola-pola dalam
sejarah, negeri ini bisa saja menjadi negeri yang maju. Misalnya saja, belajar
dari semangat juang pemuda-pemudi jaman penjajah. Bisa pula belajar untuk tidak
jatuh di kesalahan yang sama.
Jika sudah begini, masih relevan kah semangat
Jasmerah (Jangan sekali-kali melupakan sejarah) yang pernah digelorakan The Founding Father kita, yaitu
Ir.Soekarno?
No comments:
Post a Comment